Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Persiapan Kearah Kemerdekaan

Persiapan Kearah Kemerdekaan

a. Janji Kemerdekaan 

Memasuki tahun 1944 kekuatan bala tentara Jepang dalam perang dengan Sekutu mulai nampak kemundurannya dan posisinya semakin terjepit. Dalam bulan Juli 1944, kepulauan Saipan yang letaknya sangat dekat dengan kepulauan Jepang jatuh ketangan Amerika Serikat.

Kenyataan ini sangat mengguncang masyarakat Jepang. Situasi angkatan perang Jepang ini semakin memburuk dalam bulan Agustus tahun1944. Keadaan ini nampak pada moril masyarakat mulai merosot dan produksi peralatan perangnya yang semakin mundur, sehingga persediaan senjata dan amunisi berkurang, ditambah lagi dengan timbulnya soal-soal logistik karena hilangnya sejumlah besar kapal angkut dan kapal perang.

Persiapan Kearah Kemerdekaan

Keadaan yang tidak menguntungkan ini menyebabkan jatuhnya Kabinet Tojo pada 17 Juli 1944.; Sebagai gantinya kemudian diangkat Jenderal Kuniaki Koiso sebagai Perdana Menteri yang memimpin Kabinet Baru (Kabinet Koiso). Salah satu langkah kebijakan yang diambil oleh Koiso dalam rangka tetap mempertahankan pengaruh Jepang di daerah-daerah yang didudukinya adalah mengeluarkan pernyataan tentang ''janji kemerdekaan di kemudian hari''.

Dengan cara demikian pemerintah Jepang berharap bahwa rakyat di daerah pendudukan akan dengan senang hati mempertahankan negerinya itu jika kelak Sekutu datang. Indonesia sebagai daerah pendudukan kemudian diberi janji kemerdekaan di kelak kemudian hari pada tanggal 7 September 1944.

Pada tahun 1944 itu pula, dengan jatuhnya Pulau Saipan dan dipukul mundurnya tentara Jepang oleh angkatan perang Sekutu yang datang dari Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Kepulauan Marshal, maka seluruh garis pertahanan angkatan perang Jepang di pasifik mulai runtuh.

Ini berarti kekalahan Jepang dalam perang besar itu sudah diambang pintu. Di wilayah Indonesia angkatan perang Jepang juga sudah mulai kewalahan ketika menghadapi serangan-serangan Sekutu atas kota-kota seperti Ambon, Makasar, Manado, dan Surabaya.

Bahkan tentara Serikat dengan cukup berhasil telah dapat menduduki daerah-daerah minyak seperti di Tarakan dan Balikpapan. Menghadapi situasi yang sangat kritis tersebut, maka pemerintah pendudukan Jepang di Jawa di bawah pimpinan Letnan Jenderal Kumakici Harada mencoba merealisasikan janji kemerdekaan di kemudian hari dengan mengumumkan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Badan ini bertugas untuk mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang penting yang berhubungan dengan berbagai hal yang menyangkut pembentukan negara Indonesia yang merdeka. Pengangkatan pengurus badan ini diumumkan pada tanggal 29 April 1945, dan yang diangkat sebagai Ketua (Kaico) adalah dr. K.R.T.Radjiman Wedyodiningrat dengan Ketua Muda (Fuku Kaico) Icibangase.

Tanggal 28 Mei 1945 diselenggarakan upacara peresmian BPUPKI dengan mengambil tempat di Gedung Cuo Sangi In, Jalan Pejambon Jakarta (sekarang Gedung Departemen Luar Negeri). Ikut hadir dalam upacara peresmian tersebut adalah Jenderal Itagaki dan Letnan Jenderal Nagano.

Segera setelah peresmiannya ini, BPUPKI mengadakan sidangnya yang pertama. Dalam sidang yang pertama ini yang berlangsung dari tanggal 29 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945, ternyata ada tiga pembicara yang mencoba memenuhi permintaan Ketua, yakni secara khusus membicarakan mengenai dasar negara.

Ketiga pembicara tersebut adalah Mr. Muhammad Yamin, Prof. Dr. Mr. Supomo, dan Ir. Sukarno. Dengan selesainya sidang pada tanggal 1 Juni 1945, maka berakhirlah masa persidangan yang pertama dari BPUPKI. Selanjutnya dibentuklah panitia kecil yang dipimpin oleh Ir. Sukarno dengan anggota lainnya yaitu Drs. Muhammad Hatta, Sutarjohadikusumo, Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Oto Iskandardinata, Muhammad Yamin, dan A.A. Maramis.

Kesemuanya berjumlah delapan orang dan mereka bertugas menampung saran-saran, usul-usul dan konsepsi-konsepsi para anggota yang oleh Ketua telah diminta untuk diserahkan melalui Sekretariat. Sidang BPUPKI yang kedua dilakukan pada tanggal 10 hingga 17 Juli 1945.

Dalam sidang tersebut Ir. Sukarno melaporkan bahwa Panitia Kecil pada tanggal 22 Juni telah mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI. Pertemuan inilah yang kemudian membentuk sebuah panitia kecil lain yang berjumlah 9 orang. Panitia ini yang kemudian dikenal dengan sebutan Panitia Sembilan terdiri dari Ir. Sukarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. Muhammad Yamin, Mr. Ahmad Subarjo, Mr. A.A. Maramis, Abdulkadir Muzakir, Wachid Hasjim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.

Mereka menghasilkan suatu rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan negara Indonesia Merdeka, yang akhirnya diterima dengan suara bulat dan ditandatangani. Oleh Mr. Muhammad Yamin hasil Panitia Sembilan itu kemudian diberi nama Jakarta Charter atau Piagam Jakarta.

Dalam sidang BPUPKI yang kedua juga dibahas tentang rancangan undang-undang dasar, termasuk pembukaan oleh sebuah Panitia Perancang Undang Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Sukarno. Panitia Perancang Undang Undang Dasar ini kemudian membentuk ''Panitia Kecil Perancang Undang Undang Dasar'' yang diketuai oleh Prof. Dr. Mr. Supomo.

Setelah bekerja dengan keras, maka pada tanggal 14 Juli 1945 oleh Ketua Panitia Perancang Undang Undang Dasar dilaporkan tiga hasil, yakni: (1) Pernyataan Indonesia Merdeka, (2) Pembukaan Undang Undang Dasar, dan (3) Undang Undang Dasarnya sendiri (batang tubuhnya).

Setelah tugas BPUPKI dipandang selesai, dibentuklah sebagai gantinya yaitu Dokuritsu Junbi Iinkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan bagi pendirian negara dan pemerintahan Indonesia.

Peresmian pembentukan badan ini dilaksanakan pada tanggal 7 Agustus 1945, sesuai dengan keputusan Jenderal Besar Terauchi, Panglima Tentara Umum Selatan yang membawahi semua tentara Jepang di Asia Tenggara. Para anggota PPKI ini diijinkan melakukan kegiatannya menurut pendapat dan kesanggupan bangsa Indonesia sendiri, tetapi dengan syarat harus memperhatikan hal-hal:

(1) Menyelesaikan perang yang sekarang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia, karena itu harus mengerahkan tenaga sebesar-besarnya dan bersama-sama dengan pemerintahan Jepang meneruskan perjuangan untuk memperoleh kemenangan dalam perang Asia Timur Raya, (2) Negara Indonesia itu merupakan anggota Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.

Pada tanggal 8 Agustus 1945, Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, dan dr. Radjiman Wediodiningrat dipanggil oleh Jenderal Terauchi ke Dalat. Pada tanggal 9 Agustus 1945 mereka berangkat menuju ke markas besar Terauchi di Dalat (Vietnam Selatan). Dalam pertemuan yang diselenggarakan di Dalat pada tanggal 12 Agustus 1945 itu, Jenderal Besar Terauchi menyampaikan kepada ketiga pemimpin tersebut bahwa Pemerintah Kemaharajaan Jepang telah memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.

Untuk melaksanakannya telah dibentuk PPKI. Pelaksanaannya dapat dilakukan segera setelah persiapannya selesai. Wilayah Indonesia akan meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda (Hatta, 1970:18). Anggota PPKI berjumlah dua puluh satu orang yang terdiri dari wakil-wakil dari berbagai daerah di Indonesia.

Anggota-anggota PPKI tersebut adalah: Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, dr. Radjiman Wediodiningrat, Oto Iskandardinata, Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Surjohadimidjojo, Mr. Sutarjo Kartohadikusumo, R.P. Suroso, Prof. Dr. Mr. Supomo, Abdul Kadir, Purubojo, dr. Amir, Mr. Teuku Moh. Hasan, Mr. Abdul Abas, Dr. Ratu Langie, Andi Pangeran, Hamidhan, Mr. Gusti Ketut Pudja, Mr. J. Latuharhary, dan Drs. Yap Tjwan Bing.

Sebagai ketuanya adalah Ir. Sukarno, sedangkan wakil ketuanya adalah Drs. Mohammad Hatta. Anggota PPKI yang berjumlah dua puluh satu ini kemudian oleh bangsa Indonesia sendiri tanpa seijin dari pemerintah pendudukan Jepang kemudian ditambah dengan enam orang lagi. Enam anggota tambahannya itu adalah: Wiranatakusumah, Ki Hadjar Dewantara, Mr. Kasman Singodimedjo, Sayuti Melik, Iwa Kusumasumantri, dan Ahmad Subardjo.

b. Kekalahan Jepang dan Kekosongan Kekuasaan

Tidak lama setelah serbuan bala tentara Jepang secara mendadak ke pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour pada tanggal 8 Desember 1941, Amerika Serikat yang seakan-akan lumpuh itu segera bangkit. Dalam kenyataannya Jepang tidak dapat melumpuhkan Amerika Serikat secara total, bahkan Amerika Serikat bangkit dan menjadi musuh yang paling berat bagi Jepang.

Melihat fenomena ini banyak pihak yang menjadi bertanya-tanya apakah serangan Jepang terhadap Pearl Harbour itu bukan langkah yang keliru. Lebih-lebih setelah lima bulan Perang Asia Timur Raya berkobar, Amerika Serikat telah dapat memukul balik Jepang. Dalam perang laut Karangt (4 Mei 1942) dan disusul dengan perang di Guadacanal (6 Nopember 14942), Jepang secara berturut-turut menderita kekalahan.

Kekalahan yang paling besar dialami Jepang dalam pertempuran laut di dekat Kepulauan Bismarck (1 Maret 19473). Di sinilah Laksamana Yamamoto, pelaksana dan otak serangan atas Pearl Habour, gugur.  Kekalahan ini setidak-tidaknya telah menggoncangkan moral bala tentara Jepang di Asia Tenggara.

Untuk mempercepat peperangan ini, maka pada tanggal 6 Agustus 1945 Amerika Serikat menjatuhkan bom atom yang pertama di atas kota Hirosyima. Tiga hari kemudian, bom atom kedua dijatuhkan lagi di atas Nagasaki. Akibat bom atom itu bukan saja membawa kerugian material, karena hancurnya kedua kota tersebut dan banyaknya penduduk yang menemui ajalnya, tetapi secara politis telah mempersulit kedudukan Kaisar Hirohito, karena harus dapat menghentikan peperangan secepatnya guna menghindari adanya korban yang lebih banyak lagi.

Hal ini berarti bahwa Jepang harus secepatnya menyerah kepada Sekutu atau Serikat. Akhirnya Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Menurut rencana, dengan mengambil tempat di atas geladak kapal perang Amerika Serikat ''Missouri'' yang berlabuh di teluk Tokyo akan ditandatangani kapitulasi penyerahan Jepang antara Jenderal Douglas Mc Arthur dengan Hirohito pada tanggal 2 September 1945.

Sebagai tindak lanjut dari penyerahan itu, Sekutu mulai mengadakan perlucutan senjata, memulangkan tentara Jepang dan mengadili penjahat perang. Tugas itu di Indonesia dilaksanakan oleh tentara Inggris. Mengapa tentara Inggris dan bukan tentara Amerika Serikat? Hal ini memang dimungkinkan karena pada akhir tahun 1943 ditetapkan bahwa Pulau Sumatera masuk dalam South East Asia Command (SEAC), di bawah Admiral Inggris, Lord Louis Mountbatten yang pada waktu itu bermarkaskan di India, sedangkan kepulauan lain masuk dalam South West Fasific Command di bawah pimpinan Jenderal Amerika Serikat Douglas Mc Arthur, yang berkedudukan di Australia.

Sementara itu pemerintah Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang bermarkas di Australia telah merencanakan untuk mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia dengan cara mengekor pasukan Amerika Serikat yang akan menduduki bekas Hindia Belanda. Namun sebelum rencana ini dapat dilaksanakan sepenuhnya, terjadilah perubahan strategi dari pucuk pimpinan Sekutu.

Terjadinya perubahan tersebut, membawa akibat besar dalam situasi di Indonesia. Dalam Konferensi Postdam antara Trauman (Presiden Amerika Serikat), Stalin (Perdana Menteri Uni Soviet) dan Attle (Perdana Menteri Inggris) yang dilakukan pada tanggal 24 Juli 1945 ditetapkan bahwa mereka akan mengembalikan perdamaian selekas mungkin.

Dalam konferensi tersebut juga diberitahukan kepada Lord Louis Mountbatten sebagai Panglima South East Asia Comand (SEAC) bahwa kepadanya diserahkan pendudukan Indo China, Jawa Kalimantan, Sulawesi, di samping Sumatera yang telah ditentukan sebelumnya. Tugas itu harus dilaksanakan, tanpa menunggu jatuhnya Singapura.

Perubahan strategi tersebut sebenarnya karena dalam kenyataannya Mac Arthur merasa khawatir kalau dalam perlombaannya dengan Uni Soviet untuk menyerbu Jepang, Amerika Serikat akan ketinggalan karena sebagian tentaranya harus menduduki bekas wilayah Hindia Belanda.

Tidak mau kedahuluan, maka Amerika Serikat mengubah rencana. Bagian yang seharusnya menjadi tugas South West Fasific Command di bawah pimpinan Jenderal Amerika Serikat Douglas Mac Arthur, yang berkedudukan di Australia, kemudian dilimpahkan kepada South East Asia Comand di bawah komando Louis Mountbatten.

Perubahan strategi dalam Konferensi Postdam ini, menyebabkan kacaunya kedudukan Belanda (NICA). Belanda yang selama ini telah menyiapkan diri di belakang Amerika Serikat, harus secepatnya mengalihkan kedudukannya di belakang Inggris yang berpangkalan di India.

Inggris sendiri harus mengamankan daerah yang lebih luas dengan jumlah penduduk yang jauh lebih besar pula. Keadaan ini menyebabkan kacaunya strategi Inggris untuk menduduki Indonesia, oleh sebab itu tidak mengherankan kalau mereka akhirnya terlambat datang ke Indonesia.

Pada kenyataannya tentara Inggris baru dapat masuk ke Indonesia secara resmi pada tanggal 29 September 1945 setelah dibentuknya Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI) yang sebelumnya telah mengadakan penjajagan-penjajagan. Kenyataan ini menimbulkan kekosongan kekuatan di Indonesia. Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh para pemimpin bangsa Indonesia untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

c. Perbedaan Kelompok

Sejak berdirinya organisasi pergerakan nasional pertama, yakni Boedi Oetomo hingga masa pendudukan Jepang, kaum pergerakan terbagi dalam dua kelompok, yakni kelompok tua dan kelompok muda. Pembagian itu ternyata tidak hanya sekedar pembagian askriptif berdasarkan kriteria umur belaka tetapi juga memiliki makna yang lebih dalam, yakni perbedaan psikologis, sosiologis, dan politis. 

Secara psikologis golongan tua lebih bersikap hati-hati, dan penuh dengan perhitungan dalam bertindak, sehingga di mata anak muda dianggap kurang cepat bertindak. Sementara itu golongan muda sebaliknya sering bertindak hantam kromo, kurang berfikir namun cepat bertindak, dan sebagainya yang menurut pandangan orang tua disebutnya sebagai ceroboh.

Secara sosiologis mereka juga terbagi ke dalam ''dunianya orang tua'' dan ''dunianya anak muda atau pemuda''. Dunia orang tua, oleh karena umumnya telah bekerja telah memiliki anak istri atau keluarga, dan secara umum hidupnya telah mapan, mereka terlibat dalam struktur, dan ruang geraknya sangat ditentukan oleh keinginan struktural.

Sementara itu anak muda umumnya belum memiliki pekerjaan yang tetap, belum berkeluarga, sehingga hidupnya menjadi lebih bebas dan tindakannya tidak selalu diatur oleh tatanan-tatanan dalam struktur sosial yang mengikatnya. Mereka umumnya cenderung lebih bebas berbuat ketimbang kelompok tua.

Sementara itu secara politis kelompok tua umumnya bersifat moderat, sedangkan kelompok muda cenderung bersifat revolusioner. Terpisahnya dua kelompok itu dapat memiliki makna positif maupun negatif dalam perkembangan masyarakat. Makna negatif akan muncul apabila salah satu atau kedua kelompok ini saling memaksakan kemauannya.

Keterpisahan mereka akan bermakna positif apabila mereka saling menyadari dunianya masing-masing dan berusaha mengakomodasikan kehendaknya demi kemajuan masyarakat dan integrasi bangsanya. Dalam peristiwa menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia dikotomi antara kedua kelompok ini ternyata muncul dan merebak ke permukaan hingga sempat terjadi ketegangan di antara mereka.

Ketegangan itu muncul sebagai akibat perbedaan pandangan tentang saat diumumkannya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ketegangan tersebut bermula dari berita tentang menyerahnya Jepang pada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945. Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu tanpa syarat.

Hal ini diumumkan oleh Tenno Heika melalui radio. Kejadian itu jelas mengakibatkan pemerintah Jepang tidak dapat meneruskan janji atau usahanya mengenai kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu soal terus atau tidaknya usaha mengenai kemerdekaan Indonesia tergantung sepenuhnya kepada para pemimpin bangsa Indonesia.

Sementara itu Sutan Sjahrir sebagai seorang yang mewakili dan selalu berhubungan dengan pemuda merasa gelisah karena telah mendengar melalui radio bahwa Jepang telah kalah dan memutuskan untuk menyerah kepada Sekutu. Sjahrir termasuk tokoh pertama yang mendesak agar proklamasi kemerdekaan Indonesia segera dilaksanakan oleh Sukarno-Hatta tanpa harus menunggu janji Jepang.

Itulah sebabnya ketika mendengar kepulangan Bung Karno, Bung Hatta dan Dr. Radjiman Wedyodiningrat dari Dalat (Saigon), maka ia segera datang ke rumah Bung Hatta. Adapun maksud kedatangannya adalah meminta kepada Bung Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tanpa harus menunggu dari pemerintahan Jepang karena Jepang telah Menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.

Namun Bung Hatta tidak dapat memenuhi permintaan Sutan Sjahrir dan untuk tidak mengecewakan, maka diajaknya ke rumah Bung Karno. Oleh Bung Hatta dijelaskan maksud kedatangan Sutan Sjahrir, namun Bung Karno belum dapat menerima maksud Sutan Sjahrir dengan alasan bahwa Bung Karno hanya bersedia melaksanakan proklamasi. jika telah diadakan pertemuan dengan anggota--anggota PPKI yang lain.

Dengan demikian tidak menyimpang dari rencana sebelumnya yang telah disetujui oleh pemerintah Jepang. Selain itu Sukarno akan mencoba dulu untuk mencek kebenaran berita kekalahan Jepang tersebut sebelum mengadakan tindakan yang menentukan demi masa depan bangsanya.

Sikap Bung Karno dan Bung Hatta tersebut memang cukup beralasan karena jika proklamasi dilaksanakan di luar PPKI, maka Negara Indonesia Merdeka ini harus dipertahankan terhadap Sekutu (NICA) yang akan mendarat di Indonesia dan sekaligus tentara Jepang yang ingin mempertahankan jajahannya atas Indonesia, untuk menjaga status quo sebelum kedatangan Sekutu.

Jadi dengan demikian Negara Indonesia Merdeka harus dipertahankan terhadap dua lawan sekaligus. Hal itu akan berlainan, jika proklamasi dilaksanakan di dalam konteks PPKI, karena Jepang tidak akan memusuhinya. Sutan Sjahrir kemudian pergi ke Menteng Raya (markas para pemuda) dan di sana ia bertemu dengan para pemuda seperti: Sukari, BM Diah, Sayuti Melik dan lain-lain. 

Kemudian dilaporkan apa yang baru terjadi di kediaman Bung Hatta dan Bung Karno. Mendengar berita itu kelompok pemuda menghendaki agar Sukarno, Hatta (golongan tua) segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Menurut golongan muda, tidak seharusnya para pejuang kemerdekaan Indonesia menunggu-nunggu berita resmi dari Pemerintah Pendudukan Jepang.

Bangsa Indonesia harus segera mengambil inisiatifnya sendiri untuk menentukan strategi mencapai kemerdekaan. Golongan muda ini kemudian mengadakan rapat di salah satu ruangan Lembaga Bakteriologi di Pegangsaan Timur, Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1945, pukul 20.30 waktu Jawa jaman Jepang (pukul 20.00 Wib).

Yang hadir antara lain Chaerul Saleh, Djohar Nur, Kusnandar, Subadio, Subianto, Margono, Wikana, dan Alamsyah. Rapat itu dipimpin oleh Chaerul Saleh dengan menghasilkan keputusan tuntutan-tuntutan golongan pemuda yang menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tak dapat digantungkan kepada orang dan kerajaan lain.

Segala ikatan, hubungan dan janji kemerdekaan harus diputus dan sebaliknya perlu mengadakan rundingan dengan Ir. Sukarno dan Mohammad Hatta agar kelompok pemuda diikutsertakan dalam menyatakan proklamasi. Setelah rapat dan mengadakan musyawarah, maka diambil keputusan untuk mendesak Bung Karno agar bersedia melaksanakan proklamasi kemerdekaan Indonesia secepatnya sehingga lepas dari Jepang.

Yang mendapat kepercayaan dari teman-temannya untuk menemui Bung Karno adalah Wikana dan Darwis. Oleh Wikana dan Darwis, hasil keputusan itu disampaikan kepada Bung Karno jam 22.30 waktu Jawa jaman Jepang (22.00 wib) di kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur, No 56 Jakarta.

Namun sampai saat itu Bung Karno belum bersedia melepaskan keteri-katanya dengan Jepang, yang berarti belum bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa PPKI. Di sini terjadi perdebatan sengit antara Bung Karno dengan Wikana dan Darwis. Dalam perdebatan itu Wikana menuntut agar proklamasi dikumandangkan oleh Sukarno pada keesokan harinya.

Peristiwa ini menunjukkan adanya ketegangan antara kelompok tua dengan kelompok muda yang memiliki sifat, karakter, cara bergerak, dan dunianya sendiri-sendiri. Perbedaan pendapat itu tidak hanya berhenti pada adu argumentasi, tetapi juga sudah mengarah pada tindakan pemaksaan dari golongan muda terhadap golongan tua. Tentu saja semua itu demi kemerdekaan Indonesia.

Baca juga selanjutnya di bawah ini :

Post a Comment for "Persiapan Kearah Kemerdekaan"