Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perubahan-perubahan akibat pendudukan Jepang

Perubahan-perubahan akibat pendudukan Jepang 

Penduduk Jepang telah mengakibatkan perubahan-perubahan yang mendasar pada masyarakat pedesaan Indonesia, khususnya di Jawa. Tekanan-tekanan yang bersifat politis terhadap lembaga-lembaga politik tradisional maupun lembaga politik legal telah menghancurkan tatanan sistem politik di pedesaan.

Di samping itu pemerasan sumber daya ekonomi masyarakat pedesaan dilakukan secara intensif, bahkan diikuti dengan pengawasan yang ketat dan pembentukan lembaga ekonomi baru di pedesaan. Pengawasan sosial diberlakukan dengan pembentukan organisasi-organisasi sosial yang diarahkan untuk mengadakan kontrol terhadap aktivitas masyarakat, serta tekanan-tekanan mental dan agitasi yang dilaksanakan pemerintah pendudukan Jepang secara terus menerus.

Perubahan-perubahan akibat pendudukan Jepang

Untuk memahami keadaan sosiologis masyarakat dalam perspektif historis secara lebih utuh, dijelaskan konfigurasi sosio-historis masyarakat pedesaan Jawa pada masa pendudukan Jepang dalam konteks perubahan sosial yang diakibatkan proses pendudukan itu. Berikut ini satu-persatu aspek perubahan tersebut akan dibahas.

a. Aspek Politik Pemerintahan

Kedatangan balatentara Dai Nippo di Indonesia segera  diikuti oleh perubahan-perubahan yang mendasar dalam sistem hukum. Hal itu dimaksudkan untuk menjalankan pemerintahan di bawah pendudukan Jepang, meskipun dalam hal ini Jepang terlihat untuk berupaya mempertahankan sistem yang sudah ada.

Pada tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Balatentara Dai Nippon mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 yang berisi antara lain hal-hal sebagai berikut :

Pasal 1: Balatentara Nippon melangsungkan pemerintahan militer sementara waktu di daerah-daerah yang telah ditempati agar supaya mendatangkan keamanan yang sentausa dengan segera;
Pasal 2: Pembesaran Balatentara memegang kekuasaan militer yang tertinggi dan juga segala kekuasaan yang dahulu tetap di tangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda;
Pasal 3: Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaan hukum tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan pemerintahan militer;
Pasal 4: Bahwa Balatentara Jepang akan menghormati kedudukan dan kekuasaan pegawai-pegawai yang setia pada Jepang (Kan Po, Nomor Istimewa, 1942).

Undang-undang tersebut secara tegas menggariskan bahwa diberlakukannya pemerintahan militer untuk sementara waktu dan jabatan Gubernur Jenderal dihapuskan dengan diganti oleh tentara Jepang di Jawa. Pemerintahan sipil dengan undang-undang tersebut tetap dipertahankan untuk mencegah kekacauan. Perbedaannya ialah bahwa pimpinan dipegang oleh tentara Jepang, baik di pusat maupun di daerah.

Namun demikian, pada tanggal 5 Agustus 1942 pemerintahan Jepang mengeluarkan Undang-undang nomor 27 tentang Perubahan Tata Pemerintahan Daerah dan Undang-undang nomor 28 tentang Aturan Pemerintahan Syu dan Tokubetu-Syi pada tanggal 7 Agustus 1942. Dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut maka berakhirlah pemerintahan yang bersifat sementara dan berlakulah pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia.

Dalam struktur pemerintahan daerah berdasarkan undang-undang tersebut terdiri atas Syu, Syi, Ken, Gun, Son, dan Ku (Kan Po, Nomor 2, September 1942). Dalam hierarki struktural sistem pemerintahan daerah di Jawa masa Jepang adalah sebagai berikut:

Lembaga Syu (Karesidenan) di Pimpin Syucho, Lembaga Si (Kotamadya) di Pimpin Sicho, Ken (Kabupaten) di pimpin Kencho, Lembaga Gun (Kawedanan) di Pimpin Guncho, Son (Kecamatan) di Pimpin Soncho, Ku (Desa/Kelurahan) di Pimpin Kuncho.

Karesidenan (Syu) dalam sistem ini merupakan lembaga yang mandiri dan otonom dalam hal pengelolaan ekoomi. Terdapat hal yang berubah dalam fungsi dan kekuasaannya. Dinyatakan oleh Marwati Djonet Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1984:14) sebagai berikut: meskipun luas daerah Syu sama dengan karesidenan dahulu namun fungsi dan kekuasaannya berbeda.

Residentie dulu merupakan daerah pembantu gubernur (resident), sedangkan Syu merupakan pemerintahan daerah yang tertinggi dan berotonomi, di bawah seorang Syukan yang kedudukannya sama dengan Gubernur Jenderal. Struktur yang diciptakan itu dimaksudkan untuk memaksimalkan eksploitasi dan mobilisasi sumber daya hingga di tingkat pedesaan.

Dengan demikian dalam kacamata Jepang terjadi peningkatan peran lembaga-lembaga politik tersebut. Terdapat ambivalensi yang kuat dalam undang-undang pemerintahan daerah tersebut. Aturan yang secara prinsip harus mengatur kehidupan politik namun justru secara prinsip harus mengatur kehidupan ekonomi.

Selain itu dalam pelaksanaan pemerintahan, pangreh praja dengan aturan itu menyandang kekuasaan langsung atas rakyat, tetapi mereka lebih terikat erat dengan kontrol kuat pemerintah pusat. Campur tangan pemerintah Jepang terhadap korps pangreh praja bahkan merupakan bentuk-bentuk penetrasi politik dan depolitisasi terhadap lembaga-lembaga politik tradisional di pedesaan.

Pelatihan-pelatihan dan indoktrinasi dilakukan oleh pemerintahan Jepang dalam kerangka membentuk konsep dan gaya pemerintahan Jepang. Sedangkan ''politik imbalan dan hukuman'' yang dilakukan pemerintah Jepang dalam kombinasi yang cerdik dalam bentuk pemecatan, pemindahan, pengangkatan, dan pemberian hukuman terhadap pangreh praja diarahkan untuk menyingkirkan orang-orang dalam pangreh Praja yang anti Jepang, bersikap kompromis terhadap Barat atau bergaya keningratan.

Pelatihan indoktrinasi politik dan moral dilaksanakan secara terstruktur dan teratur serta dilembagakan setelah tahun 1944. Dalam Asia Raya tanggal 13 Januari 1944 diberitakan bahwa pada bulan Juni 1943 di Gambir Timur Jakarta diselenggarakan kegiatan pelatihan guncho. Pelatihan tersebut diikuti oleh 83 guncho dari seluruh Jawa dan Madura, yang dilaksanakan sejak tanggal 12 Januari 1944 dan dilaksanakan selama tiga minggu (Asia Raya, 13 Januari 1944).

Sedangkan kursus pelatihan pertama untuk soncho dimulai tanggal 14 Juli 1944 selama sebulan (Asia Raya, 17 Juli 1944). Materi yang diberikan dalam pelatihan itu adalah (Asia Raya, 18 Januari 1945): (1) pendidikan moral, (2) kebudayaan Jepang, (3) pemerintahan daerah, (4) politik, (5) pertanian, (6) kesehatan, (7) pendidikan, (8) gisi, (9) perekonomian rakyat, (10) transportasi, (11) peraturan-peraturan yang menyangkut pejabat pemerintah.

Dalam tatanan kehidupan politik tradisional di tingkat pedesaan, pemerintah Jepang dengan orientasi ekonominya telah melanggar batas-batas otonomi pemerintahan desa. Kepala desa bagi masyarakat merupakan simbol pengayom yang dipilih oleh masyarakat berdasarkan ketentuan dan kriteria tertentu secara demokratis.

Tetapi pada masa pendudukan Jepang, proses pemilihan dan pengangkatan kepala desa dilakukan melalui serangkaian prosedur seleksi dan tes yang dibuat oleh pemerintah Jepang. Hal itu dimaksudkan untuk memilih kepala desa yang mengerti administrasi pemerintahan dan sekaligus untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak menyukai pemerintahan Jepang.

Dengan demikian pada masa itu kepala desa dilibatkan langsung dalam struktur pemerintahan administrasi Jepang dengan aturan-aturan yang dipaksakan. Untuk memperlancar proses kepentingan ekonomi di pedesaan dan sekaligus mengontrol tindakan-tindakan rakyat, pemerintah Jepang membentuk lembaga baru yang dinamakan tonarigumi (rukun tetangga).

Sebagai dari akibat ketatnya kontrol pemerintah, maka kepala desa memiliki banyak tugas kewajiban. Kewajiban-kewajiban itu adalah: (1) pemungutan pajak, (2) peningkatan standar hidup rakyat, (3) memimpin keibodan dan seinendan, (4) memilih dan megangkat hak suara Sangikai (dewan penasehat setempat), (5) pengelolaan koperasi, akutansi masjid, memberi penerangan dalam hal kesehatan, (6) menyampaikan informasi ke atas dan ke bawah (Aiko Kurasawa, 1993:453).

Di samping tugas tradisional tersebut, kepala desa memiliki kewajiban-kewajiban menjalankan: (1) tuntutan dalam meningkatkan produksi padi (pertanian), (2) pengawasan penanaman tanaman-tanaman baru, (3) pengumpulan padi, (4) perekrutan romusa, (5) mengorganisasikan korps tenaga sukarela, (6) mengawasi nogyo kumiai, (7) memimpin keibodan sebagai komandan unit desa, (8) memimpin cabang Hokokai desa dan sebagainya.

Perubahan-perubahan struktural telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam kehidupan politik, pemerintahan dan sikap masyarakat terhadap lembaga politik. Dalam posisi sistem pemerintahan pendudukan, rakyat hanyalah sebagai obyek politik dan segala kepentingan politik yang dibebankan kepadanya. Dalam kalimat lain, pada saat itu masyarakat pedesaan merupakan obyek eksploitasi dan penetrasi demi kepentingan pemerintah pendudukan Jepang.

b. Aspek Sosial Ekonomi

Bentuk eksploitasi ekonomi yang berimplikasi terhadap perubahan sosial ekonomi secara mendasar pada masa pendudukan Jepang di Jawa ialah diberlakukannya politik penyerahan padi secara paksa. Logika politik ekonomi ini didasarkan pada kebutuhan bahan pangan yang makin meningkat bagi tentara Jepang di front pertempuran.

Selain itu akibat terputusnya komunikasi antara pemerintah Jepang dengan daerah-daerah Selatan sebagai akibat buruknya kondisi masa itu, telah menyebabkan daerah-daerah harus mencukupi sendiri kebutuhan ekonominya. Sehingga Syu harus mampu mengelola kebutuhan ekonominya sendiri.

Apalagi kenyataan bahwa antara permintaan dan target penyetoran padi tidak sebanding. Di Karesidenan Kedu misalnya, dari bulan April 1943 sampai dengan bulan Maret 1944 dari target setoran sebanyak 54.000 ton, ternyata hanya dapat dipenuhi 25.237 ton atau hanya sekitar 46,7 % dari target.

Bahkan dari April sampai September 1945 dari total target 80.000 ton, hanya terpenuhi 17.464 ton hanya sekitar 21,8 %. Selai disebabkan oleh target setoran yang tidak rasional, kemungkinan kedua adalah karena faktor produksinya. Pada tahun 1944 terjadi penurunan secara umum hasil panen sebanyak 20 % dibandingkan pada tahun 1937 dan tahun 1941.

Kemungkinan lain ialah faktor kesulitan pengangkutan dan buruknya tempat penyimpanan sehingga padi menjadi rusak dan membusuk. Itulah sebabnya dalam sidang Chuo Sangiin pada bulan Nopember 1944 dibahas langkah-langkah untuk mengintensifkan penyerahan padi bahkan langsung ke desa-desa.

Untuk itu dibentuk nogyo kumiai (koperasi pertanian) sebagai lembaga dipedesaan yang diharapkan dapat memaksimalkan hasil pertanian. Kepala desa (kucho) bertanggung jawab terhadap target setoran hasil padi tersebut, sedangkan operasionalnya diserahkan melalui kumicho.

Proses eksploitasi ekonomi tersebut terlihat akibatnya secara mendasar pada kehidupan masyarakat pedesaan. Padahal dipahami bahwa perilaku ekonomi yang khas dari keluarga petani Jawa menurut James C. Scott (1989:4-20) ialah petani yang subsisten, yaitu ia sekaligus merupakan satu unit produksi dan konsumsi.

Sehingga masalah yang dihadapi oleh petani ialah bagaimana dapat menghasilkan beras untuk makan sekeluarga, untuk membeli barang kebutuhan dan untuk memenuhi tagihan-tagihan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi dari pihak luar. Implikasi dari penyerahan wajib tersebut ialah meningkatkan angka kematian dan menurunkan derajat kesehatan masyarakat.

Bahkan keadaan sosial serta tingkat kesejahteraan sosial yang sangat buruk sebagai akibat kelangkaan bahan pangan. Angka kematian lebih tinggi dari angka kelahiran. Di Kudus misalnya angka kematian mencapai 45,0 perseribu (permil) sedangkan yang tertinggi adalah di Purworejo dan Wonosobo yang mencapai 42,7 dan 53,7 perseribu.

Angka-angka tersebut telah menunjukan kondisi sosial ekonomi yang sangat buruk. Pula makan yang berubah, pola hidup yang bergeser serta tekanan-tekanan sosial ekonomi yang menghimpit menyebabkan perubahan mendasar dalam aspek-aspek fisik maupun spikologisnya.

Dalam aspek fisik nyata terlihat kemiskinan endemis yang makin meluas, kesehatan yang merosot serta angka kematian yang tinggi. Sedangkan dalam aspek non fisik terlihat kemiskinan mentalitas akibat rongrongan dan ketakutan yang tidak proporsional. Akibatnya adalah berkembangnya kegelisahan komunal dan ketidak tentraman kultural yang makin meningkat frekuensinya.

Sehingga dapat dikatakan bahwa keadaan petani dan masyarakat pedesaan di Jawa pada masa pendudukan Jepang berada dalam tingkat yang sangat buruk. Oleh James C. Scott disebut sebagai ''subsistence level'', yaitu tingkat pemenuhan diri sendiri.

Bagi masyarakat pedesaan Jawa yang penting adalah beberapa banyak yang diambil. Pemikiran yang digunakan ialah bagaimana mereka dapat sekedar bertahan hidup, dalam situasi yang makin memburuk dan suasana yang makin tak menentu kapan akan berakhir.

c. Aspek Mentalis Masyarakat

Kerangka pendudukan Jepang di Jawa selain untuk memperoleh sumber-sumber ekonomi, juga untuk menciptakan landasan pasok ekonomi yang penting untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Untuk itu dalam rangka meningkatkan hasil produksi selain dilakukan melalui bidang produksi juga melalui peningkatan infrastruktur sehingga hal itu memerlukan dukungan sumber daya manusia.

Jawa memiliki surplus tenaga kerja yang dapat digunakan sebagai sumber daya potensial dan merupakan sumber tenaga kerja yang penting di Asia Tenggara (Aiko Kurasawa, 1993:297). Oleh Ricklefs, dinyatakan bahwa Jawa merupakan daerah yang secara politis paling maju, yang sumber daya utamanya adalah manusia (Ricklefs, 1992:297).

Dengan keadaan seperti itu masyarakat pedesaan Jawa merupakan sumber daya tenaga kerja yang banyak diambil untuk menangani proyek-proyek pembangunan fisik, seperti benteng-benteng pertahanan, lobang-lobang pertahanan, jembatan, pelabuhan,maupun tempat-tempat penyimpanan bahan makanan.

Tenaga kerja secara paksa (romusa) itu dipekerjakan seperti di Banten, Jakarta, Surabaya, Singapura, Philipina, Siam, dan Birma. Perlakuan yang tidak manusiawi dari tentara Jepang terhadap romusha serta ketiadaan jaminan sosial serta kesejahteraan menyebabkan beribu-ribu romusha meninggal dengan mengenaskan dan tak kembali.

Keadaan yang sangat buruk itu menghantui masyarakat desa yang harus juga mengirimkan penduduknya untuk berangkat menjadi romusha. Sehingga berkembang menjadi ketakutan kolektif dan kegelisahan komunal. Masyarakat desa tidak berani untuk menentang perintah tentara Jepang di satu sisi namun tidak menginginkan berangkat sebagai akibat penetrasi politik yang sangat keras.

Tekanan-tekanan politik, ekonomi, sosial, maupun kultural saat itu telah menciptakan kondisi masyarakat pedesaan yang diliputi kecemasan dan ketakutan. Praktek-praktek romusa merupakan bentuk yang sangat nyata dari praktek eksploitasi tenaga kerja dan manusia pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.

Hal itu sekaligus merupakan suatu bentuk kemiskinan mentalitas masyarakat di Indonesia. Dengan demikian telah terjadi perubahan mentalitas masyarakat Indonesia yang sangat mendasar pada masa pendudukan Jepang sebagai akibat penetrasi dan sistem pendudukan yang bersifat militer tersebut.

Barangkali tidak ada yang dapat diambil keuntungan dari kasus-kasus romusa bagi masyarakat pedesaan Jawa waktu itu. Secara kongkrit tampak adalah proses penetrasi dan eksploitasi sumber daya manusia sebagai tenaga sumber daya manusia pedesaan Jawa waktu itu.

Baca juga selanjutnya di bawah ini :

Post a Comment for "Perubahan-perubahan akibat pendudukan Jepang"