Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perubahan Ekonomi Kolonial Menjadi Ekonomi Nasional

Perubahan Ekonomi Kolonial Menjadi Ekonomi Nasional  

Sejak pengakuan kedaulatan, pemerintah Indonesia dihadapan dengan masalah gawat yang bertalian dengan dipertahankannya dominasi Belanda atas ekonomi Indonesia. Sebagaimana diketahui, dalam persetujuan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag, pemerintah Indonesia telah setuju untuk tetap menghormati hak-hak dan kepentingan-kepentingan historis dunia usaha Belanda di Indonesia.

Yang memang telah dijamin selama jaman penjajahan, meskipun hal ini ditentang keras oleh beberapa pemimpin revolusioner Indonesia. Jadi dapat dikatakan bahwa kemerdekaan ekonomi belum tercapai karena sektor modern ekonomi Indonesia masih tetap dikuasai dan dikendalikan perusahaan-perusahaan swasta Belanda, seperti halnya selama jaman kolonial.

Perubahan Ekonomi Kolonial Menjadi Ekonomi Nasional

Misalnya, kelima perusahaan niaga Belanda yang besar, yaitu Jacobson & van den Berg, Internatio, Borneo-Sumatera Maatschappiy (Barsumij), Lindeteves, dan Geo Wehry, yang sering disebut ''teh big five'', tetap menduduki kedudukan monopoli (The Kian Wie,1996 :4-5).

Mengingat keadaan tersebut maka banyak orang Indonesia mendesak pemerintah Indonesia untuk sedikit-dikitnya mengurangi kekuasaan ekonomi perusahaan-perusahaan swasta Belanda dan sekaligus mendorong dan mendukung usaha swasta pribumi Indonesia.

Meskipun konsep ekonomi nasional, tidak pernah diberi batasan yang jelas, namun aspirasi kuat untuk membangun suatu ekonomi nasional di mana bangsa Indonesia menjadi tuan rumah di rumah sendiri didasarkan atas keyakinan kebanyakan orang Indonesia bahwa keterbelakangan ekonomi Indonesia adalah akibat penjajahan dan eksploitasi sumber-sumber daya alam dan sumber-sumber daya manusia Indonesia oleh para penjajah.

Oleh karena itu maka kebanyakan orang Indonesia berpendapat bahwa kepemilikan orang asing dan non pribumi, khususnya orang Belanda dan juga Cina, atas aset-aset produktif Indonesia dan pengendalian orang asing atas ekonomi Indonesia perlu dihapus dalam waktu sesingkat mungkin (The Kian Wie, 1996:2).

Beberapa pemimpin nasional yang berpengaruh menganjurkan pengembangan ekonomi nasional menurut pola sosialis untuk menggantikan struktur ekonomi kapitalis yang eksploitatif yang telah diwarisi dari jaman kolonial.

Pemerintah Indonesia dalam tahun-tahun awal kemerdekaan memang dihadapi dengan delema karena perusahaan-perusahaan Belanda dan Barat lainnya, seperti Unilever, British American Tobacco (BAT), Bata dann Good Year (yang semuanya telah datang ke Indonesia pada awal tahun 1930-an akibat insentif yang ditawarkan pemerintah kolonial Belanda, seperti proteksi tarif bea masuk dan proteksi non-tarif), dibiarkan beroperasi seperti sediakala.

Hal ini terpaksa dilakukan pemerintah Indonesia karena terikat komitmen internasional. Namun dengan adanya tekanan politik yang kuat mendorong pemerintah Indonesia untuk mengambil beberapa langkah untuk memenuhi tuntutan dan aspirasi nasionalisme ekonomi Indonesia yang kuat.

Menurut Dr. Sumitro Djojohadikusumo, pembangunan ekonomi Indonesia pada dasarnya adalah membangun ekonomi baru, yaitu dengan cara mengubah struktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional. Hal ini dilakukan pada sektor perdagangan.

Menurut pendapat Sumitro secepat mungkin Indonesia menumbuhkan kelas pengusaha dengan cara membuat kesempatan untuk ikut serta di dalam pembangunan ekonomi nasional. Cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk menumbuhkan kelas menengah ini dengan membantu dan membimbing pengusaha yang lemah lewat bantuan pemberian kredit.

Bila usaha ini berhasil, secara bertahap para pengusaha Indonesia akan berkembang dan pada gilirannya usaha untuk mengubah struktur ekonomi kolonial di bidang perdagangan akan terwujud. Pada tahun 1950 pemerintah Indonesia mengintrodusir Program Benteng untuk mendorong perkembangan kewiraswastaan pribumi Indonesia dan menempatkan suatu kegiatan ekonomi yang penting, yaitu perdagangan impor, di bawah pengendalian nasional.

Ide program ini dari Sumitro Djojohadikusumo, yang pada saat itu menjabat Menteri Perdagangan pada Kabinet Natsir. Gerakan Benteng di mulai pada bulan April 1950 dan selama tiga tahun (1950-1953) kurang lebih 700 perusahaan diberi bantuan kredit dari Program Benteng ini. 

Program Benteng ini merupakan usaha pemerintah untuk melindungi usaha-usaha pribumi. Keadaan ekonomi negara Indonesia periode 1945-1949 buruk. Utang negara naik, sedang peredaran uang kertas terlalu besar dibandingkan dengan jumlah barang. Gejala-gejala inflasi mulai tampak.

Harga terus meningkat diikuti oleh kenaikan upah, sehingga kemungkinan ekspor berkurang. Keuangan di Indonesia kacau. Di dalam peredaran terdapat uang kertas sebelum perang, uang Jepang, uang ORI yang dikeluarkan di yogyakarta, uang ORIS yang dikeluarkan di Sumatera dan uang NICA. 

Pada tahun 1950 setelah penyerahan kedaulatan keadaan lebih kacau lagi, sebab semua macam uang disahkan untuk seluruh Indonesia. Dengan demikian maka pemerintah pertama-tama menghadapi darurat untuk mengadakan kesatuan dalam peredaran uang kecuali itu pemerintah harus mencari jalan untuk mengatasi utang negara.

Daya beli yang berlebih sebagian besar harus dikurangi. Kelebihan daya beli itu terbukti pada hasrat orang untuk menyembunyikan barang dagangan dan sebagainya, dan pada hasrat spekulasi dalam barang-barang berharga. Untuk mengatasi masalah ini (inflasi), pemerintah melakukan pemotongan uang pada tanggal 19 Maret 1950.

Uang yang ada di bank setengahnya diganti dengan obligasi Republik Indonesia 1950. Uang yang ada  di peredaran di gunting jadi dua : hanya bagian yang kiri yang berlaku, dengan harga setengahnya harga semula. Agar orang kecil tidak terlalu merugi, maka ditetapkan bahwa uang kertas di bawah lima Rupiah dikecualikan dari peraturan itu.

Kendati banyak pemilik uang yang terkena oleh peraturan itu, tetapi pemerintah mulai dapat mengendalikan situasi keuangan negara. Akibat meletusnya perang Korea menjadi ekspor keluar negeri menjadi bertambah terutama ekspor karet.

Usaha mengatasi krisis moneter dilakukan pula oleh Kabinet Sukiman dengan cara nasionalisasi de Javansche Bank. Kendati mengalami krisis moneter, pemerintah melalui Menteri Keuangan Yusuf Wibisono masih memberikan perhatian kepada para pengusaha dan pedagang nasional golongan ekonomi lemah.

Dengan memberi bantuan itu diharapkan para pengusaha yang merupakan produsen dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume import.Seiring dengan peraturan membagi dua uang kertas itu, diadakan pula peraturan sertifikat deviden, suatu usaha untuk memberikan dasar yang sewajarnya bagi nilai Rupiah.

Sertifikat-sertifikat itu tidak pernah diperjualbelikan sebagai kertas berharga yang sebenarnya. Nilainya ditentukan oleh bank dan uang yang diterimanya diberikan atau dibayarkan kepada mereka yang berhak menerimanya.

Sebagai akibat sanering uang yang dilakukan pemerintah pada jaman Ir. Juanda sebagai Menteri Kemakmuran dan Syafrudin Prawiranegara sebagai Menteri Keuangan itu, kira-kira ada 1,5 milyar Rupiah ditarik dari peredaran. Dengan uang itu dapatlah pemerintah membayar sebagian utangnya kepada Bank Sentral.

Sebab untuk membiayai defisit anggaran. Pemerintah selalu mengambil uang muka dari de Javanche Bank (kini Bank Indonesia). Maka dengan cara tersebut sebagian uang muka dapatlah dikembalikan. Maka pemecahan soal utang pemerintah itu merupakan penciptaan pinjaman paksa. 

Bagian kanan uang kertas yang di gunting kelak ditukar dengan obligasi RI. Pada permulaan tahun 1951 Indonesia ditimpa oleh gelombang-gelombang pemogokan. Walaupun begitu perniagaan luar negeri masih dapat berkembang baik. Bahkan waktu itu Indonesia menyatakan simpanan valuta luar negeri dengan jalan membeli emas.

Simpanan valuta ini dapat dijual kembali jika keadaan memaksa seperti pada pertengahan bulan Nopember 1952 Indonesia menjual emasnya. Dengan cepat cadangan emas mulai berkurang. Merosotnya cadangan emas itu tidak saja disebabkan oleh karena dasar penukaran barang ekspor Indonesia menjadi buruk, melainkan disebabkan oleh ketekoran-ketekoran anggaran belanja untuk mengurangi inflasi harus disediakan barang sebanyak-banyaknya.

Volume barang harus diperbanyak di pasaran dalam negeri dengan jalan memperbesar produksi sendiri dan memperluas impor. Produksi dalam negeri dapat diperbesar dengan meninggikan produksivitas kerja, dan memperpanjang waktu kerja. Lagi pula perbaikan dapat dicapai dengan menyediakan bahan-bahan bantuan (pupuk untuk pertanian) bahan-bahan mentah untuk industri, alat-alat dan barang modal untuk perluasan perusahaan-perusahaan baru.

Usaha pemerintah Indonesia untuk menuju ekonomi nasional, ternyata tidak mudah. Adanya peristiwa Tanjung Morawa yang menyebabkan Kabinet Wilopo jatuh. Peristiwa Tanjung Morawa menimbulkan heboh yang demikian besar.

Jatuhnya Kabinet Wilopo dan munculnya kabinet baru di bawah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo I menandakan suatu tahap baru dalam kebijaksanaan penanaman modal asing yang lebih militan. Hal ini antara lain terlihat dari usaha ''Indonesianisasi'' yang lebih insentif, misalnya dengan bantuan pemerintah Indonesia kepada pengusaha-pengusaha pribumi untuk mengambil alih bagian yang lebih besar dari berbagai kegiatan ekonomi, seperti perdagangan impor, perbankan, perkapalan dan penggilingan beras, yang dikuasai kepentingan ekonomi Belanda dan Cina. 

Mr. Iskaq Tjokrohadidisuryo selaku Menteri Perekonomian dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I lebih mengedepankan kebijaksanaan Indonesia, dalam usaha untuk merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.

Tekanan pada ''Indonesianisasi'' juga dirasakan oleh perusahaan-perusahaan asing yang didesak pemerintah Indonesia untuk memperluas usaha mereka untuk melatih tenaga kerja Indonesia mereka, sehingga dapat menduduki makin banyak jabatan teknis, manajerial, dan pengawasan yang pada waktu itu masih banyak diduduki tenaga ahli asing.

Perusahaan-perusahaan negara menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional dan memberikan perlindungan supaya dapat bersaing dengan perusahaan asing yang ada. Usaha ini cukup berhasil, seperti antara lain ternyata dari pengalaman perusahaan minyak Amerika Standard Vacum Oil Company (Stanvac) yang melaporkan bahwa persentase pegawai Indonesia yang menduduki jabatan teknis, administratif, dan pengawasan telah meningkat dari 27 persen pada tahun1949 sampai 72 persen pada akhir tahun 1954.

Suatu usaha patungan Inggris-Indonesia juga melaporkan bahwa komposisi staf manajerial mereka yang pada tahun 1960 terdiri dari 268 orang asing dan hanya 55 orang Indonesia, pada tahun 1960 telah berubah menjadi 225 orang Indonesia dan hanya 16 orang asing .

Sejak tahun 1951 penerimaan pemerintah mulai berkurang karena menurunnya volume perdagangan internasional. Indonesia belum memiliki barang-barang ekspor selain hasil perkebunan. Perkembangan ekonomi Indonesia cenderung merosot, padahal pengeluaran pemerintah semakin meningkat akibat labilnya situasi politik, sehingga menjadi penyebab utama defisit.

Usaha pemerintah untuk meningkatkan produksi dengan menggunakan sumber-sumber yang ada untuk meningkatkan pendapatan nasional mengalami kegagalan. Kelemahan pemerintah lainnya adalah politik keuangannya tidak dibuat di Indonesia, tetapi di rancang di negeri Belanda.

Sebagai bekas jajahan Belanda, Indonesia tidak memiliki banyak ahli, sehingga usaha mengganti sistem ekonomi kolonial ke ekonomi nasional tidak menghasilkan perubahan yang berarti. Hal tersebut mendorong lahirnya berbagai kebijakan pemerintah mengalami defisit keuangan, lalu ada kecenderungan untuk mencetak uang baru yang menimbulkan inflasi.

Inflasi dapat menghambat produksi dikarenakan adanya kenaikan upah. Pemimpin-pemimpin nasional yang lebih pragmatis menyadari bahwa PMA baru memang harus ditarik ke Indonesia untuk mengembangkan sumber-sumber daya alam Indonesia dan mendirikan industri modern pada tahun 1958 disertai berbagai amandemen.

Undang-undang PMA melarang PMA dalam beberapa kegiatan ekonomi, seperti pekerjaan umum, pertambangan, dan lapangan usaha lainnya di mana umumnya pengusaha-pengusaha pribumi bergerak. Meskipun pemilikan saham mayoritas tidak dilarang, namun undang-undang PMA ini menegaskan bahwa usaha patungan dengan mitra Indonesia akan diberikan prioritas.

Situasi politik yang kacau, dan terutama nasionalisasi semua perusahaan Belanda bertalian dengan konflik mengenai status Irian Barat, jelas tidak menguntungkan usaha-usaha menarik arus PMA baru ke Indonesia. Malahan keadaan politik yang makin radikal dan makin anti kehadiran PMA di Indonesia, maka pada tahun 1959 Presiden Sukarno mencabut UU PMA tahun 1958.

Usaha perjuangan pengembalian Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, dilancarkan pula lewat bidang ekonomi. Pada tanggal 18 Nopember 1957 diadakan rapat umum di Jakarta. Rapat umum ini kemudian diikuti dengan aksi pemogokan total oleh kaum buruh yang bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda. 

Pada tahun 1957 pemerintah segera mengambil tindakan antara lain :

1. Melarang beredarnya semua terbitan dan film yang berbahasa Belanda.
2. Penerbangan Belanda KLM dilarang mendarat dan terbang di atas wilayah Indonesia.
3. Mulai 5 Desember 1957 semua kegiatan Konsul Belanda di Indonesia diminta dihentikan.

Setelah itu terjadi pengambilalihan (nasionalisasi) modal dan berbagai perusahaan milik Belanda, yang kemudian diatur dengan Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 1958. Beberapa contoh perusahaan yang diambil alih oleh Indonesia antara lain : 

1. Perbankan seperti Nederlansche Handel Maatschappy (namanya kemudian menjadi Bank Dagang Negara).
2. Perusahaan listrik Philip.
3. Beberapa perusahaan perkebunan. Perjuangan pengembalian Irian Barat ini, selanjutnya diteruskan dengan Trikora (Tiga Komando Rakyat).

Setelah kampanye ''Ganyang Malaysia'' dilaksanakan pemerintah Indonesia pada awal tahun 1963, maka Indonesia bersikap semakin bermusuhan dengan Inggris dan Amerika Serikat (AS), berkaitan dengan dukungan kuat mereka kepada Malaysia.

Kampanye militan terhadap Inggris dan AS akhirnya berakhir dengan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Inggris, Amerika dan negara-negara Barat lainnya pada akhir tahun 1963. Dengan pengambilalihan perusahaan-perusahaan negara -negara Barat ini, maka berakhirlah kehadiran usaha swasta asing di Indonesia yang telah mulai memasuki Indonesia pada tahun 1870 sewaktu pemerintah kolonial Belanda membuka daerah jajahannya di Indonesia untuk modal swasta.

Dengan demikian pada pertengahan dasawarsa 1960-an Indonesia bukan mengalami pertambahan dalam aset produktif yang sangat diperlukan untuk pembangunan ekonomi, akan tetapi sebaiknya justru mengalami disinvestasi yang pesat serta kemerosotan tajam dalam kapasitas produksi akibat salah urus yang luas di kebanyakan perusahaan-perusahaan asing yang telah diambil alih dan depresiasi dalam peralatan modal yang telah diperbaharui dengan investasi baru.

Kabinet Ali Sastroamidjojo telah membentuk Biro Perancang Negara. Tugasnya merancang pembangunan jangka panjang, sebab pemerintah sebelumnya lebih menekankan program jangka pendek. Pada bulan Mei 1956 Biro ini menghasilkan Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1961.

RUU tentang Rencana Pembangunan ini disetujui DPR pada tanggal 11 Nopember 1958. Biro perancang ini diketuai oleh Ir. Djuanda yang selanjutnya diangkat menjadi Menteri Perancang Nasional. Kebijakan pemerintah selanjutnya adalah pada tanggal 28 Maret 1963 Presiden Sukarno mengumumkan berlakunya Deklarasi Ekonomi.

Dengan adanya deklarasi ekonomi tersebut, maka pemerintah yang memegang peranan pemimpin dalam bidang ekonomi. Peraturan pelaksanaan Deklarasi Ekonomi tanggal 26 Mei 1963 ternyata telah menimbulkan kesulitan, karena tidak sesuai dengan Deklarasi Ekonomi itu sendiri.

Kemudian Deklarasi Ekonomi diganti dengan peraturan baru yang dikenal dengan nama Peraturan 17 April 1964, di mana antara lain ditetapkan adanya Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan Operasi (KESOP) dalam usaha perdagangan.

Baca juga selanjutnya di bawah ini :

Post a Comment for "Perubahan Ekonomi Kolonial Menjadi Ekonomi Nasional "