Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengaruh perang dunia I terhadap politik di Indonesia

Pengaruh perang dunia I terhadap politik di Indonesia 

Perang Dunia I (1914-1918) sangat berpengaruh terhadap negeri Belanda dan jajahannya. Walaupun keduanya tidak terlibat langsung dalam perang tersebut, tetapi tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh yang ditimbulkannya. Letak negeri Belanda yang berhimpitan dengan negara-negara yang sedang berperang mengakibatkan Belanda harus bersikap hati-hati agar tetap netral dan tidak bermusuhan dengan salah satu blok yang sedang berperang (Robert van Niel, 1984:139).

Lihat peta Eropa! Pada waktu itu hubungan Belanda dengan jajahannya yang berada jauh di belahan dunia Timur hanya dapat dilakukan dengan kapal, yang berarti hubungan tersebut sangat tergantung kepada Inggris sebagai penguasa lautan. Sulitnya hubungan menjadikan Gubernur Jenderal lebih leluasa untuk mengambil kebijakan di tanah jajahan dengan cara menyimpang terhadap peraturan yang dibuat oleh negeri induk.

Gambar Pengaruh perang dunia I 

Pengaruh perang dunia I terhadap politik di Indonesia

Sampai dengan berakhirnya Perang Dunia I, Indonesia masih berada di bawah penjajahan Belanda. Politik penjajahan pada dasarnya selalu melakukan eksploitasi terhadap tanah jajahannya, termasuk penjajahan Belanda di Indonesia. Tetapi semenjak Politik Etis, pemerintah Belanda diminta untuk mempunyai kewajiban moral terhadap tanah jajahan, dengan memperhatikan kemakmuran dan kemajuan penduduk pribumi.

Dalam membahas kehidupan politik di Indonesia antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II, ternyata tidak bisa hanya memperhatikan idealisme politik penjajahan Belanda saja, tetapi juga harus melihat bagaimana kondisi di Indonesia dan di negeri Belanda.

Dalam masa antara dua Perang Dunia motif ekonomi selalu mempengaruhi politik penjajahan, bahkan pengaruh tersebut lebih kuat dibandingkan dengan sebelumnya. Pertimbangan-pertimbangan yang berdasarkan kewajiban moral, politik kemakmuran atau martabat nasional dan sebagainya memang turut memainkan peranan, tetapi pada umumnya kepentingan ekonomilah yang menguasainya.

Bahwa kepentingan ekonomi berpengaruh terhadap kebijakan politik akan diuraikan pada sub bab berikutnya, misalnya pemerintah membatasi produk perkebunan, manaikkan pajak pribumi yang tujuannya adalah demi keuntungan pengusaha Barat.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Perang Dunia I sangat mempercepat proses perkembangan Hindia Belanda. Akibatnya putusnya hubungan dengan Belanda, maka Hindia Belanda (Indonesia), terpaksa harus berdiri sendiri di bidang ekonomi dengan mengadakan hubungan dengan negara tetangga dan harus melanjutkan politik Pintu Terbuka dalam perdagangannya.

Apa arti politik Pintu Terbuka? Perkembangan ini sesuai dengan konsep Lugard tentang Mandat Rangkap. Berdasarkan konsep tersebut maka kekuatan kolonial mempunyai kewajiban untuk meningkatkan kemajuan penduduk pribumi maupun untuk membuka tanah jajahannya bagi ekonomi dunia.

Prinsip-prinsip penentuan nasib sendiri yang tercantum dalam Empat Belas Pasal Wilson yang lahir pada masa akhir Perang Dunia I, mempercepat proses demokratisasi di Indonesia. Sementara gerakan nasional menjadi semakin progresip, menuntut hak menentukan nasib sendiri, dan segera ingin menghapuskan pemerintahan kolonial.

Perkembangan politik lain sesudah Perang Dunia I adalah semakin meningkatnya peran Volksraad atau Dewan Rakyat. Ketika lembaga tersebut berdiri pada tahun 1916, wewenangnya hanyalah sebagai Dewan Penasehat. Dewan tersebut tidak dapat mengubah pemerintahan dan tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan anggaran belanja.

Pembatasan hak-hak legislatif ini tidak sesuai dengan janji Gubernur Jenderal, yang diucapkan pada upacara pembukaan Dewan tersebut. Dalam pidato pembukaan, Gubernur Jenderal mengatakan bahwa Dewan Rakyat mempunyai hak untuk menyalurkan suara hati nurani rakyat.

Pusat kekuasaan politik akan dipindahkan dari negeri Belanda ke Indonesia, status tanah jajahan yang dieksploitasi juga akan diganti sebagai bagian dari Kerajaan Belanda yang diberi otonomi dengan pemerintahan yang demokratis. Janji tersebut hanya kan tetap sebagai janji selama kekuasaan Dewan tidak diperluas.

Baru pada tahun 1925 posisi dan kekuasaan Dewan Rakyat berubah menjadi sebuah kekuasaan kolegislatif yang memiliki kekuasaan untuk mengajukan petisi, mengubah Undang-undang serta mengundangkannya. Perluasan peran Dewan Rakyat ternyata belum berarti banyak bagi pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi, karena terlaksananya demokrasi akan berarti hancurnya pemerintah kolonial.

Kritik-kritik terhadap Dewan Rakyat dilakukan, baik oleh orang luar maupun dari anggota Dewan Rakyat sendiri. Mereka menuntut agar Dewan Rakyat memiliki kekuasaan legislatif dan pertanggung jawaban kabinet secara penuh. Apa artinya? Suasana semakin memanas sebagai dampak dari Perang Dunia I.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Perang Dunia I juga menimbulkan kegoncangan-kegoncangan di Indonesia. Oposisi terhadap pemerintah kolonial menjadi semakin radikal. Anggota-anggota Dewan Rakyat yang progresip membentuk sebuah konsentrasi radikal.

Mereka menuntut pembentukan sebuah parlemen dan pembentukan Hindia Belanda menjadi sebuah negara yang berstatus otonomi dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi dengan menaikkan pajak pribumi, memperkeruh suasana.

Sebagai protes terhadap peraturan tersebut rakyat melakukan pemogokan di bawah pimpinan tokoh-tokoh pergerakan. Pada bulan Januari 1922 terjadi pemogokan di kalangan buruh pegadaian dan pada bulan Mei 1923 di kalangan pegawai kereta api. Reaksi pemerintah sangat keras.

Hak untuk mengadakan rapat dicabut , kota Yogyakarta diduduki oleh Angkatan Kepolisian, dan lebih kurang seribu orang buruh dipecat. Pemogokan buruh disusul dengan pemberontakan, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Di Batavia (Jakarta), terjadi pengambilan alihan kantor telepon oleh sekelompok orang bersenjata. Para pelaku kejahatan ini ditangkap polisi pada keesokan harinya.

Pada tahun 1926 di Banten, sejumlah pegawai dibunuh oleh segerombolan teroris, tetapi pemerintah masih dapat memegang kendali pemerintahan. Kerusuhan di Banten, selain disebabkan oleh kegelisahan penduduk karena adanya tekanan pajak, juga dikarenakan adanya unsur penjahat dari kalangan rendahan yang digerakkan oleh Komunis.

Pada bulan Januari 1927 terjadi pemberontakan di Sumatera Barat. Belum dapat diketahui secara pasti apakah pemberontakan yang terjadi di Sumatera Barat ada hubungannya dengan yang terjadi di Jawa, dan apakah juga ada hubungannya dengan komunis. Penduduk Minangkabau, Sumatera Barat waktu itu mengalami tekanan sebagai akibat adanya konflik yang berasal dari pemerintah, antara kelompok Islam, maupun karena perubahan sosial dan adat istiadat.

Untuk meringankan tekanan-tekanan tersebut, penduduk bergabung dengan Partai Komunis. Pemberontakan yang terjadi di Minangkabau ini lebih besar dibanding dengan yang terjadi di Jawa, dan pemerintah memerlukan kekuatan yang lebih besar untuk memadamkannya.

Tidak jelas apakah ini pemberontakan Minangkabau yang memperalat Partai Komunis, ataukah pemberontakan Partai Komunis yang memperalat orang Minangkabau. Pemberontakan tersebut menimbulkan reaksi yang keras dan tegas dari Pemerintah Belanda. Kira-kira 1.300 orang ditahan (separuhnya kemudian dibebaskan), 4.500 orang di penjara, dan 1.300 orang dibuang ke Tanah Merah di bagian atas Sungai Digul, Irian.

Gubernur Jenderal baru, ACD de Graeff, yang tiba di Indonesia hanya beberapa bulan sebelum pemberontakan terjadi, mendukung hukuman tersebut. Padahal, de Graeff dikenal sebagai seorang liberal yang sangat terbuka dengan golongan nasionalis. Dengan alasan tidak mau membiarkan adanya penyimpangan dan kekerasan, de Graeff memberikan dukungan seperti tersebut di atas.

Gerakan nasional yang semakin radikal dan timbulnya pemberontakan di berbagai wilayah mengakibatkan pemerintah mengambil kebijakan politik penjajahan baru. Perubahan nampak jelas pada tahun 1925 semasa pemerintahan Gubernur Jenderal Fock (1921-1926), dengan mengadakan peninjauan kembali terhadap Politik Etis Kolonial.

Politik penjajahan yang baru ini didasarkan pada realita yang ada di Indonesia sesudah Perang Dunia I. Pertama, kemerosotan dalam bidang ekonomi, salah satu solusinya adalah dengan memindahkan pusat kegiatan ekonomi dari Jawa ke luar Jawa. Sebelumnya pemerintah sudah menanamkan modal di luar Jawa baik dalam perkebunan maupun industri yang laku di pasaran dunia, tetapi sesudah Perang Dunia I penanaman modal bertambah besar.

Pembukaan ijin pertambangan minyak di Jambi yang semula berpusat di Jawa, memudahkan kepentingan modal Barat. Pembukaan perkebunan asing ke luar Jawa didasarkan pada kenyataan bahwa harga tanah di Jawa sudah mahal. Perlu dicatat, bahwa ada orang-orang Indonesia yang mengikuti langkah pemerintah Belanda.

Ke dua, timbulnya pemogokan dan pemberontakan sesudah Perang Dunia I dan adanya gerakan pribumi yang lebih radikal dapat dianggap sebagai kelemahan Politik Etis Kolonial. Oleh karena itulah perlu diterapkan politik kolonial yang baru, yaitu politik reaksioner.

Politik reaksioner ini nampak dari kebijakan yang diambil oleh Gubernur Jenderal de Jonge (1931-1936), yang membuka halaman baru bagi politik kolonial Belanda pada awal dasa warsa 1930-an. De Jonge tidak mau mengakui keberadaan gerakan nasional. Pemerintah mengeluarkan peraturan-peraturan yang melarang diadakannya perkumpulan dan rapat, menghukum pegawai yang bergabung dengan kegiatan ekstrimis, membuang dan memenjarakan nasionalis radikal.

Meningkatnya pergerakan nasional dijadikan alasan oleh de Jonge untuk melakukan politik menindas. Selama pemerintahannya banyak diterapkan hak-hak exorbitant (apa artinya) dengan membuang Ir. Sukarno ke Flores dan kemudian ke Bengkulu, Drs. Moh. Hatta dan Sjahrir ke Digul Atas dan kemudian ke Banda.

Berpuluh orang yang terlibat dalam pemberontakan tahun 1926 dan 1927 serta aktivitas radikal pada tahun-tahun berikutnya, dibuang ke Digul. Politik menindas juga diterapkan kepada partai-partai yang bersikap non kooperatif. PNI dan Partindo dibubarkan sehingga dengan demikian aksi politik praktis tidak mungkin dijalankan, menjadi lumpuh sama sekali, meskipun tidak padam.

Banyak rapat dibubarkan karena menurut polisi rapat digunakan sebagai tempat untuk menghasut agar orang melakukan pemberontakan. Langkah ini justru merupakan propaganda baik bagi partai radikal, karena banyak yang kemudian bergabung dengannya, misalnya Partindo. Pemerintah merespon dengan melarang pegawai menjadi anggota partai tersebut.

Pada 1 Oktober 1932 politik de Jonge menciptakan peraturan Toezicht Ordonantie atau Ordonansi Pengawasan yang dapat menolak ijin untuk menyelenggarakan pengajaran apabila dipandang membahayakan ketertiban masyarakat. Peraturan tersebut mendapat tentangan dari masyarakat, karena Pemerintah Belanda dirasa kurang memberi kesempatan kepada penduduk pribumi untuk menuntut pelajaran. 

Bahkan pemerintah Belanda juga menghalangi usaha pribumi untuk menyelenggarakan pengajaran yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara. Kebijakan lain yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda adalah tentang milisi. Dua bulan setelah berakhirnya Perang Dunia I gagasan untuk membentuk milisi menjadi hangat kembali dengan alasan biayanya lebih murah dibandingkan dengan membentuk pasukan profesional.

Dalam perkembangan yang kemudian terjadi, pembentukan milisi pribumi yang berdasarkan kewajiban setiap warga negara untuk mempertahankan negaranya, ditolak. Alasan, bahwa perang modern lebih memerlukan angkatan perang yang profesional. Di balik alasan tersebut sebenarnya ada kekhawatiran di pihak pemerintah karena khawatir dengan milisi bangsa Indonesia akan menuntut hak-hak politiknya yang lebih besar, seperti perubahan ketatanegaraan.

Pemerintah kemudian menyetujui milisi pribumi secara terbatas dan tidak disertai dengan pemberian hak-hak ketatanegaraan kepada rakyat. Kebijakan politik baru ini merupakan hasil pemikiran dari para pakar di Universitas Leiden. Fakultas Indologi di Universita tersebut dapat dikatakan sebagai pusat pendidikan administrasi pemerintahan untuk Hindia Belanda, dan langkah penghematan dan represif yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal Fock sejalan dengan pemikiran Fakultas Indologi Universitas Leiden.

Sementara itu perjuangan di lingkungan Dewan Rakyat terus berlangsung. Tiga mosi diajukan yaitu mosi Thamrin, mosi Soetarjo, dan mosi Wiwoho. Bagaimana perbedaan antara mosi dengan petisi? Menanggapi mosi pertama, pemerintah bersedia meniadakan istilah Inlander dan menggantikannya dengan istilah Indonesier, tetapi berkeberatan untuk menggantikan Nederland-Indie dengan Indonesie.

Mosi kedua mengusulkan untuk meniadakan segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras dan membentuk satu kewarganegaraan bagi semua lapisan masyarakat. Terhadap mosi ini pemerintah memberikan tanggapan bahwa pemecahan tersebut akan dibahas setelah perang selesai. Mosi Wiwoho mengungkap kembali soal struktur ketatanegaraan Hindia Belanda terutama tentang perluasan wewenang Dewan Rakyat dan tanggung jawab Departemen kepada Dewan tersebut.

Jawaban pemerintah Belanda terhadap tuntutan tersebut seperti sudah diduga sebelumnya. Sampai dengan akhir masa pemerintahannya, Belanda tidak pernah mempertimbangkan tuntutan-tuntutan tersebut secara serius. Pemerintah Belanda menyatakan bahwa setiap pembicaraan mengenai kemerdekaan Indonesia perlu ditolak karena akan membuat perkembangan ketatanegaraan Indonesia yang demokratis berubah menjadi perjuangan kekuasaan.

Jawaban-jawaban yang sifatnya klise tetap saja diberikan misalnya dalam waktu yang akan ditentukan, belum masak, terlalu pagi, dan sebagainya. Interpretasi pemerintah terhadap Atlantic Charter juga membuktikan bahwa Belanda ingin mempertahankan penjajahannya. 

Menteri Tanah Jajahan Belanda mengatakan bahwa apa yang tercantum dalam Atlantic Charter adalah tentang hubungan-hubungan internasional, sehingga hubungan-hubungan dalam lingkungan kerajaan Belanda tidak termasuk di dalamnya.

Post a Comment for "Pengaruh perang dunia I terhadap politik di Indonesia"