Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Perjuangan Indonesia Untuk Menghadapi Disintegrasi Bangsa

Perjuangan Indonesia

Perjuangan Indonesia Untuk Menghadapi Disintegrasi Bangsa - Perjuangan menghadapi ancaman disintegrasi bangsa adalah segala perbuatan, upaya ataupun langkah-langkah yang diambil guna mencegah ataupun menghadapi perpecahan maupun hilangnya persatuan bangsa yang dapat mengakibatkan perpecahan.

Perjuangan Indonesia Untuk Menghadapi Disintegrasi Bangsa


Dalam upaya untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah Indonesia menghadapi berbagai pergolakan dan pemberontakan dari dalam negeri. Pergolakan dan pemberontakan tersebut, seperti pemberontakan PKI Madiun tahun 1948, pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), pemberontakan Andi Azis, Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS), gerkan DI/TII, pemberontakan Pemerintahan Revolusiner Republik Indonesia (PRRI), dan pemberontakan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Pergolakan dan pemberontakan tersebut mengancam keutuhan negara Republik Indonesia. Pemerintah Indonesia berusaha mengatasi pergolakan dan pemberontakan tersebut.

A. Berbagai Pergolakan di Dalam Negeri (1948-1965)

Sejarah pergolakan dan konflik yang terjadi di Indonesia antara tahun 1948-1965 bisa dibagi ke dalam tiga bentuk pergolakan. Berikut tiga bentuk pergolakan :

1. Peristiwa Konflik dan Pergolakan yang Berkaitan dengan Ideologi

Peristiwa yang termasuk dalam kategori ini, seperti peristiwa pemberontakan PKI Madiun, pemberontakan DI/TII dan peristiwa G-30-S/PKI. Berikut peristiwa dan pergolakan yang berkaitan dengan ideologi.

a. Pemberontakan PKI Madiun

Terjadinya pemberontakan PKI Madiun berawal dari upaya yang dilakukan oleh Amir Syarifuddin untuk menjatuhkan Kabinet Hatta. Untuk hal tersebut, Amir Syarifuddin pada tanggal 26 Februari 1948 membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) di Surakarta. FDR terdiri dari Partai Sosialis Indonesia, PKI, Pesindo, PBI, dan Sarbupri. Adapun strategi yang diterapkan FDR adalah sebagai berikut :
1) FDR berusaha menumbuhkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah dengan cara melakukan pemogokan umum dan berbagai bentuk pengacauan.
2) FDR menarik pasukan pro-FDR dari medan tempur untuk memperkuat wilayah yang telah dibina.
3) FDR menjadikan Madiun sebagai basis pemerintahan dan Surakarta sebagai daerah kacau (untuk mengalihkan perhatian dan menghadang TNI).
4) Di dalam partemen, FDR mengusahakan terbentuknya Front Nasional yang mempersatukan berbagai kekuatan sosial-politik untuk menggulingkan Kabinet Hatta.

Kegiatan FDR dikendalikan oleh PKI sejak Muso kembali dari Uni Soviet. Atas anjuran dari Muso, partai yang tergabung dalam FDR meleburkan diri dalam PKI. Selanjutnya, PKI menyusun politbiro (dewan politik) dengan ketuanya Muso dan sekretaris pertahanan Amir Syarifuddin.

Dalam rangka untuk menjatuhkan wibawa pemerintah, Muso dan Amir Syarifuddin berkeliling ke sejumlah kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk mempropagandakan PKI beserta programnya. Sambil menjelek-jelekkan pemerintah, PKI mempertajam persaingan antara pasukan TNI yang pro-PKI dan yang propemerintah. Adanya persaingan tersebut turut memicu terjadinya pemberontakan PKI Madiun (Madiun Affair).

Di Surakarta pada tanggal 11 September 1948 terjadi bentrokan antara pasukan propemerintah RI (Divisi Siliwangi) dan pasukan pro-PKI (Divisi IV). Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah menunjuk Kolonel Gatot Subroto sebagai gubernur militer (meliputi daerah Surakarta, Pati, Semarang, dan Madiun). Akhirnya pada tanggal 17 September 1948 pasukan yang pro-PKI mundur dari Surakarta.

Ternyata kejadian di Surakarta tersebut hanya untuk mengalihkan perhatian. Pada waktu kekuatan TNI terjun ke Surakarta, Sumarsono dari Pesindo dan Letnan Kolonel Dahlan dari Brigade 29 yang pro-PKI melakukan perebutan kekuasaan di Madiun pada tanggal 18 September 1948. Tindakan PKI tersebut disertai dengan penangkapan dan pembunuhan pejabat sipil, militer, dan pemuka masyarakat, kemudian mereka mendirikan pemerintahan Soviet Republik Indonesia di Madiun.

Pada waktu kudeta berlangsung di Madiun, Muso dan Amir Syarifuddin sedang berada di Purwodadi, kemudian mereka ke Madiun mendukung kudeta dan mengambil alih pimpinan. Secara resmi diproklamasikan berdirinya Soviet Republik Indonesia. Semua yang dilakukan oleh Muso dan Amir Syarifuddin tersebut memperjelas bahwa pemberontakan di Madiun didalangi oleh PKI.

Untuk mengatasi pemberontakan tersebut, pemerintah bersikap tegas. Presiden Soekarno memberikan pilihan kepada rakyat ikut Muso dengan PKI-nya atau ikut Soekarno-Hatta. Tawaran Presiden Soekarno tersebut disambut dengan sikap mendukung pemerintah RI.

Selanjutnya, pemerintah menginstruksikan kepada Kolonel Sadikin dan Divisi Siliwangi untuk merebut kota Madiun. Kota Madiun diserang dari dua arah. Dari barat diserang oleh pasukan Siliwangi dan dari arah timur diserang oleh pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Sungkono.

Dengan bantuan rakyat pada tanggal 30 September 1948 kota Madiun berhasil dikuasai TNI. Muso tertembak dalam pengejaran di Ponorogo dan Amir Syarifuddin tertangkap di Purwodadi, kemudian dilakukan operasi pembersihan di daerah-daerah dan pada bulan Desember 1948 operasi dinyatakan selesai.

b. Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)

1). Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Pelopor gerakan DI/TII adalah Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo. Dengan ditandatanganinya Perjanjian Renville pada tanggal 8 Desember 1947 membuat pasukan TNI harus hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah. Namun, kepindahan tersebut tidak diikuti oleh pasukan Hizbullah dan Sabililah yang dipimpin S.M. Kartosuwiryo.

Menurut S.M. Kartosuwiryo, tidak seharusnya Republik Indonesia melepaskan Jawa Barat kepada Belanda setelah berjuang bersama dalam mencapai kemerdekaan. S.M. Kartosuwiryo kecewa dan tidak mengakui lagi keberadaan Republik Indonesia dan kemudian memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada tanggal 7 Agustus 1949 di desa Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat. S.M. Kartosuwiryo membentuk Tentara Islam Indonesia (TII) dengan markasnya di Gunung Geber. TII terdiri dari laskar Hisbullah dan Sabililah.

Kembalinya pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menimbulkan bentrok dengan TII. Untuk menumpas gerakan tersebut, pemerintah mulai tanggal 27 Agustus 1958 melakukan operasi militer di bawah pimpinan Ibrahim Adjie, Pangdam Siliwangi. Operasi tersebut bernama Operasi Pagar Betis dan berhasil menangkap S.M. Kartosuwiryo di Gunung Geber, Majalengka, Jawa Barat pada tanggal 4 Juni 1962. S.M. Kartosuwiryo diadili dan dijatuhi hukuman mati.

2). Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah 

Gerakan DI/TII di Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah. Di Kebumen, gerakan ini di kenal dengan nama Angkatan Umat Islam yang dipimpin oleh Mahfudh Abdul Rahman (Kiai Sumolangu). Untuk menumpas gerakan tersebut pemerintah membentuk pasukan Banteng Raiders dan melancarkan Operasi Gerakan Banteng Negara dan berhasil menumpas pada tahun 1954.



3). Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan

Pemberontakan DI/TII yang terjadi di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar (mantan letnan dua TNI). Ibnu Hajar menggalang gerakan yang bernama Kesatuan Rakyat yang Tertindas (KRYT) dan menyatakan gerakan KRYT sebagai bagian dari DI/TII yang dipimpin Kartosuwiryo. KRYT sejak pertengahan bulan Oktober 1950 menyerang pos-pos TNI dan mengacaukan sejumlah wilayah di Kalimantan Selatan.

Awalnya pemerintah memberi kesempatan kepada pemberontak untuk menyerahkan diri. Hal itu dimanfaatkan oleh Ibnu Hajar untuk mengelabuhi pemerintah agar memperoleh senjata. Setelah terpenuhi keinginannya, Ibnu Hajar kembali memberontak. Untuk menghadapi pemberontakan tersebut pemerintah bertindak tegas dengan melaksanakan operasi militer. Akhirnya Ibnu Hajar bisa ditangkap pada bulan Juli 1963. Dua tahun kemudian diadili oleh Mahkamah Militer dan dijatuhi hukuman mati.

4). Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan

Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan meletus sejak tahun 1951 dan dipimpin oleh Kahar Muzakar. Munculnya gerakan DI/TII tersebut bermula dari Kahar Muzakar menempatkan laskar-laskar rakyat Sulawesi Selatan ke dalam lingkungan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat).

Selanjutnya, Kahar Muzakar berkeinginan untuk menjadi pimpinan APRIS di daerah Sulawesi Selatan. Pada tanggal 30 April 1950 Kahar Muzakar menyatakan agar semua anggota dari KGSS (Komando Gerilya Sulawesi Selatan) dimasukkan dalam APRIS.

Kahar Muzakar juga mengusulkan pembentukan Brigade Hasanuddin. Namun, permintaan Kahar Muzakar tersebut ditolak oleh pemerintah pusat. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pemerintah pusat bersama dengan pimpinan APRIS mengeluarkan kebijakan dengan memasukkan semua anggota KGSS ke dalam Corps Tjadangan Nasional (CTN) dan Kahar Muzakar diangkat sebagai pimpinannya dengan pangkat letnan kolonel.

Kebijakan pemerintah tersebut tidak memuaskan Kahar Muzakar. Pada tanggal 17 Agustus 1951, bersama dengan pasukannya Kahar Muzakar melarikan diri ke hutan. Pada tahun 1952 Kahar Muzakar menyatakan bahwa wilayah Sulawesi Selatan menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo.

Untuk mengatasi pemberontakan tersebut, pemerintah bertindak tegas dengan mengadakan operasi militer. Penumpasan tersebut mengalami berbagai kesulitan, tetapi akhirnya pada bulan Februari 1965 Kahar Muzakar berhasil ditembak dan pada bulan Juli 1965, orang kedua setelah Kahar (Gerungan) bisa ditangkap. Peristiwa tersebut mengakhiri pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan.

5). Pemberontakan DI/TII di Aceh

Pemberontakan DI/TII di Aceh ini dipimpin oleh Daud Beureueh. Daud Beureueh ialah gubernur militer di wilayah Aceh semasa perang kemerdekaan. Namun setelah perang kemerdekaan usai dan Indonesia kembali ke dalam bentuk negara kesatuan pada tahun 1950, Aceh yang sebelumnya menjadi daerah istimewa diturunkan statusnya menjadi keresidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara.

Kebijakan tersebut ditentang oleh Daud Beureueh. Pada tanggal 20 September 1953 Daud Beureueh mengeluarkan maklumat tentang penyatuan Aceh ke dalam Negara Islam Indonesia yang dipimpin Kartosuwiryo. Untuk menumpas pemberontakan tersebut, pemerintah mengadakan dua pendekatan (pendekatan persuasif dan operasi militer).

Pendekatan persuasif dilakukan dengan mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah, sedangkan operasi militer dilakukan untuk menghancurkan kekuatan bersenjata DI/TII. Dengan dua pendekatan tersebut, pemerintah berhasil memulihkan kepercayaan rakyat dan berhasil menciptakan keamanan rakyat Aceh.

Pada tanggal 17-21 Desember 1962 diadakan musyawarah kerukunan rakyat Aceh. Adanya musyawarah tersebut merupakan gagasan dari Pangdam I atau Iskandar Muda, Kolonel M. Yasin yang didukung oleh tokoh pemerintah daerah dan masyarakat Aceh.

Hasil musyawarah tersebut pemerintah menawarkan amnesti kepada Daud Beureueh asalkan Daud Beureueh bersedia kembali ke tengah masyarakat. Dengan kembalinya Daud Beureueh ke tengah masyarakat menandai kerakhirnya pemberontakan DI/TII.

c. G-30S/PKI

1) Pertentangan antara PKI dan Angkatan Darat (AD)

Adanya perbedaan ideologi serta kepentingan antara PKI dan Angkatan Darat menyebabkan keduanya bersaing satu sama lain. Sesuai dengan ideologi yang dianutnya, PKI berkepentingan merintis berdirinya negara komunis. Adapun Angkatan Darat sebagai kekuatan pertahanan negara berkepentingan mengamankan Pancasila sebagai dasar negara.

Pada bulan Januari 1965 PKI mengajukan gagasan pembentukan angkatan kelima. Gagasan tersebut berisi tuntutan agar kaum buruh dan tani dipersenjatai. Hal tersebut dilakukan untuk menggalang kekuatan menghadapi neokolonial imperialisme (neokolim) Inggris dalam rangka Dwikora.

Pada bulan Mei 1965, PKI melempar isu adanya Dewan Jenderal dalam tubuh Angkatan Darat. Menurut PKI, Dewan Jenderal ditafsirkan sebagai badan yang mempersiapkan perebutan kekuasaan dari Presiden Soekarno.

Angkatan Darat secara tegas menolak gagasan pembentukan angkatan kelima. Menurut Men/Pangad Letnan Jenderal Ahmad Yani, pembentukan angkatan kelima tidak efisien dan merugikan revolusi Indonesia. Penolakan pembentukan angkatan kelima dinyatakan pula oleh Laksamana Muda Martadinata atas nama Angkatan Laut.

Mereka hanya dapat menerima jika nagkatan kelima berada dalam lingkungan ABRI dan di tangan komando perwira yang profesional. Adapun dalam menanggapi adanya isu Dewan Jenderal, pimpinan Angkatan Darat menyakinkan presiden akan kesetiaan mereka terhadap pemerintah.

Pimpinan Angkatan Darat menyatakan bahwa dewan yang ada dalam Angkatan Darat bukan Dewan Jenderal, melainkan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) yang bertugas memerikan usul kepada Men/Pangad tentang promosi jabatan dan pangkat para perwira tinggi.

Di tengah persaingan antara PKI dan Angkatan Darat, pada bulan Juli 1965 muncul berita tentang memburuknya kesehatan Presiden Soekarno. Menurut tim dokter yang khusus didatangkan dari RRC, ada kemungkinan presiden akan lumpuh atau meninggal. Pimpinan PKI yang mengetahui berita itu langsung dari dokter-dokter RRC merasa perlu segera mengambil tindakan.

2) Pemberontakan G-30S/PKI

Letnan Kolonel Untung sebagai pimpinan gerakan memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan untuk mulai bergerak pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965. Pada dini hari itu, mereka melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama dari Angkatan Darat.

Para perwira Angkatan Darat tersebut disiksa dan dibunuh yang kemudian dimasukkan ke dalam satu sumur tua di Lubang Buaya yang terletak di sebelah selatan Pangkalan Udara Utama Halim Perdanakusuma. Enam jenderal korban dari TNI Angkatan Darat tersebut ialah sebagai berikut :

a. Letnan Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat atau Men/Pangad).
b. Mayor Jenderal r. Suprapto (Deputi II Pangad).
c. Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo (Deputi III Pangad).
d. Mayor Jenderal Siswondo Parman (Asisten I Pangad).
e. Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Pangad).
f. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur).

Ketika terjadinya penculikan para perwira Angkatan Darat, Jenderal A.H. Nasution yang juga menjadi target penculikan berhasil menyelamatkan diri dengan kaki yang tertembak. Namun, putrinya yang bernama Ade Irma Suryani Nasution menjadi korban sasaran tembakan dan gugur.

Ajudan Jenderal A.H. Nasution yang bernama Letnan Satu Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban, sedangkan Pembantu Letnan Polisi Karel Satsuit Tubuh gugur pada saat melakukan perlawanan terhadap gerombolan yang berusaha menculik Jenderal A.H. Nasution.

Penculikan dan pembunuhan serupa juga terjadi di Yogyakarta dan menimbulkan korban Komando Resimen 072 Pamungkas Kolonel Katamso serta Kepala Staf Korem 072 Pamungkas Letkol Sugiyono. Keduanya dibunuh dengan kejam di Kentungan, daerah markas suatu batalion yang dikuasai oleh perwira komunis.

3) Penumpasan G-30S/PKI

Setelah menerima laporan terjadinya penculikan para pemimpin TNI Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeharto sebagai panglima Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat) segera mengambil langkah-langkah untuk memulihkan keamanan di ibu kota. Langkah-langkah tersebut yaitu dengan menyelamatkan dua objek vital, yaitu gedung RRI dan pusat telekomunikasi.

Dalam waktu dua puluh lima menit resimen RPKAD di bawah Sarwo Edhi berhasil merebut kedua objek tersebut. Pada pukul 20.10 WIB Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat mengeluarkan pernyataan resmi yang isinya memberitahukan kepada seluruh rakyat bahwa pada tanggal 1 Oktober 1965 telah terjadi peristiwa penculikan beberapa perwira tinggi Angkatan Darat yang dilakukan oleh golongan kontrarevolusioner yang menamakan dirinya Gestapu (Gerakan 30 September).

Selanjutnya mereka telah mengambil alih kekuasaan negara. Mayor Jenderal Soeharto menegaskan bahwa kekuatan Gestapu bisa dihancurkan dan NKRI yang berdasarkan Pancasila pasti tetap jaya. Pidato Mayor Jenderal Soeharto tersebut bisa meredakan kegelisahan rakyat dan mereka bisa mengetahui gambaran yang jelas tentang situasi negara.

Operasi penumpasan dilanjutkan dengan sasaran Pangkalan Udara Utama/Lanuma Halim Perdanakusuma, yang menjadi basis kekuatan G-30S/PKI. Operasi ini bertujuan mencari tempat dan mengusut nasib para jenderal yang diculik.

Operasi dilanjutkan ke Lubang Buaya. Atas petunjuk dari Ajudan Brigadir Polisi Sukitman, pada tanggal 3 Oktober ditemukan sumur tua tempat penguburan jenazah para perwira Angkatan Darat. Pada tanggal 4 Oktober dilakukan pengangkatan seluruh jenazah para perwira dan pada tanggal 5 Oktober para perwira dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Para perwira dianugrahi gelar Pahlawan Revolusi serta diberikan kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi secara anumerta.

4) Beberapa Teori Mengenal Paristiwa G-30S/PKI

Peristiwa G-30S/PKI hingga kini masih menyimpan kontroversial, terutama berhubungan dengan pertanyaan siapa dalang Gerakan 30 September 1965 sebenarnya. Berikut beberapa teori mengenai peristiwa G-30S/PKI tahun 1965.

a. Gerakan 30 September merupakan persoalan internal Angkatan Darat (AD).
Teori ini dikemukakan antara lain oleh Ben Anderson, W.F. Wertheim, dan Coen Hotsapel. Teori ini menyatakan bahwa G-30S/PKI hanyalah peristiwa yang timbul akibat adanya persoalan di kalangan Angkatan Darat sendiri. Hal tersebut misalnya didasarkan pada pernyataan pemimpin gerakan, yaitu Letnan Kolonel Untung yang menyatakan bahwa para pemimpin Angkatan Darat hidup bermewah-mewahan dan memperkaya diri sehingga mencemarkan nama baik Angkatan Darat. Sebenarnya pendapat tersebut berlawanan dengan kenyataan yang ada, misalnya Jenderal Nasution, panglima angkatan bersenjata ini justru hidupnya sederhana.

b. Dalang Gerakan 30 September adalah Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA).
Menurut teori ini, AS sangat khawatir Indonesia jatuh ke tangan komunis. Pada masa itu PKI memang telah kuat-kuatnya menanamkan pengaruh di Indonesia. Oleh karena itu, CIA kemudian bekerja sama dengan suatu kelompok dalam tubuh Angkatan Darat untuk memprovokasi PKI agar melakukan gerakan kudeta. Setelah itu, PKI yang dihancurkan. Adapun tujuan akhir skenario CIA ini adalah menjatuhkan kekuasaan Soekarno. Teori ini antara lain dari tulisan Peter Dale Scott atau Geoffrey Robinson.

c. Gerakan 30 September merupakan pertemuan antara kepentingan Inggris-AS.
Teori ini dikemukakan oleh Greg Poulgrain. Menurut teori ini, G-30-S adalah titik temu antara keinginan Inggris yang ingin sikap konfrontatif Soekarno terhadap Malaysia bisa diakhiri melalui penggulingan kekuasaan Soekarno, dengan keinginan Amerika Serikat agar Indonesia terbebas dari komunisme. Pada masa itu, Soekarno memang tengah gencar melancarkan provokasi menyerang. Malaysia yang dikatakannya sebagai negara boneka Inggris.

d. Soekarno adalah dalang Gerakan 30 September
Teori ini dikemukakan antara lain oleh Anthony Dake dan John Hughes. Teori ini beranjak dan asumsi bahwa antara Soekarno berkeinginan melenyapkan kekuasaan oposisi terhadap dirinya, yang berasal dari sebagian perwira tinggi Angkatan Darat. Adapun dasar teori ini antara lain berasal dari kesaksian Shri Biju Patnaik (seorang pilot asal India yang menjadi sahabat banyak pejabat di Indonesia sejak masa revolusi). Ia mengatakan bahwa pada 30 September 1965 tengah malam Soekarno memintanya untuk meninggalkan Jakarta sebelum subuh. Menurut Shri Biju Patnaik, Soekarno berkata ''sesudah itu saya akan menutup lapangan terbang''. Di sini seakan Soekarno tahu bahwa akan ada peristiwa besar esok harinya.

Teori ini dilemahkan antara lain dengan tindakan Soekarno yang ternyata kemudian menolak mendukung G-30S, bahkan pada tanggal 6 Oktober 1965 dalam sidang Kebinet Dwikora di Bogor, Soekarno mengutuk gerakan G-30-S ini.

e. Tindakan ada pemeran tunggal dan skenario besar dalam peristiwa Gerakan 30 September (teori chaos).
Teori ini antara lain dikemukakan oleh John D. Legge. Menurut teori ini, tidak ada dalang tunggal dan tidak ada skenario besar dalam G-30-S. Kejadian tersebut hanya merupakan hasil dari perpaduan antara seperti yang disebut Soekarno, ''unsur-unsur nekolim (negara Barat), pimpinan PKI yang keblinger serta oknum-oknum ABRI yang tidak benar''. Semuanya pecah dalam improvisasi di lapangan.

f. Soeharto sebagai dalang gerakan 30 September.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Brian May dalam bukunya yang berjudul Indonesia Tragedy. Menurut Brian May terdapat kedekatan hubungan antara letkol Untung sebagai pimpinan Gerakan 30 September 1965 dengan Mayjen Soeharto yang saat itu menjabat Panglima Kostrad.

g. Dalang gerakan 30 September adalah PKI.
Teori ini antara lain dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh. Teori ini merupakan teori yang paling umum didengar mengenal kudeta tanggal 30 September 1965. Menurut teori ini, tokoh-tokoh PKI adalah penanggung jawab peristiwa kudeta, dengan cara memperalat unsur-unsur tentara. Adapun dasarnya adalah serangkaian kejadian dan aksi yang telah dilancarkan PKI antara tahun 1959-1965. Dasar yang lain yaitu bahwa setelah G-30-S, beberapa perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri CC PKI sempat terjadi di Blitar Selatan, Grobogan dan Klaten.

2. Peristiwa Konflik dan Pergolakan yang Berkaitan dengan Kepentingan (Vested Interesf)

Vested interest merupakan kepentingan yang tertanam dengan kuat pada suatu kelompok. Biasanya kelompok ini berusaha untuk mengontrol suatu sistem sosial atau kegiatan untuk keuntungan sendiri. Kelompok ini juga sukar untuk mau melepas posisi atau kedudukannya sehingga sering menghalangi suatu proses perubahan. Baik APRA, RMS, maupun peristiwa Andi Aziz, semuanya berhubungan dengan keberadaan pasukan KNIL atau tentara kerajaan di Hindia Belanda yang tidak mau menerima kedatangan tentara Indonesia di wilayah-wilayah yang sebelumnya mereka kuasai. Dalam situasi tersebut konflik pun terjadi.

Berikut beberapa peristiwa konflik dan pergolakan yang berkaitan dengan kepentingan :

a. Pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)


Gerakan APRA muncul di kalangan KNIL yang dipimpin oleh Kapten Westerling. Gerakan ini dipelopori oleh golongan kolonialisme Belanda yang ingin mengamankan kepentingan ekonominya di Indonesia dan bermaksud mempertahankan kedudukan negara Pasundan.

Tujuan gerakan APRA yang sebenarnya adalah mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan memiliki tentara sendiri bagi negara-negara RIS. Pada bulan Januari 1950. APRA mengajukan ultimatum kepada pemerintah Republik Indonesia dan negara Pasundan yang isinya tuntutan agar APRA diakui sebagai tentara Pasundan dan keberadaan negara Pasundan tetap dipertahankan. Ultimatum tersebut dilanjutkan dengan melakukan gerakan teror pada tanggal 23 Januari 1950. APRA menyerang kota Bandung dan berhasil menduduki Markas Divisi Siliwangi. Akibatnya 79 orang anggota APRIS gugur termasuk Letnan Kolonel Lembong.

Pemerintah RIS menempuh dua cara untuk menumpas pemberontakan APRA di Bandung, yaitu melakukan tekanan terhadap pimpinan tentara Belanda dan melakukan operasi militer. Perdana Menteri RIS, Moh. Hatta mengutus pasukan ke Bandung dan mengadakan perundingan dengan komisaris tinggi Belanda di Jakarta. 

Hasil dari perundingan tersebut, Westerling didesak untuk meninggalkan kota Bandung. Gerakan APRA semakin terdesak dan terus dikejar oleh pasukan APRIS bersama rakyat dan akhirnya gerakan APRA dapat dilumpuhkan.

b. Pemberontakan Andi Aziz


Pemberontakan Andi Aziz terjadi di Makasar (Ujung Pandang, Sulawesi Selatan) di bawah pimpinan Kapten Andi Aziz, seorang mantan perwira KNIL yang baru saja diterima masuk ke dalam APRIS. Tujuan pemberontakan ini karena gerombolan Andi Aziz menolak masuknya pasukan-pasukan APRIS dari TNI.

Pada tanggal 5 April 1950, gerombolan Andi Aziz mengadakan penyerangan serta menduduki tempat-tempat vital dan menawan Panglima Teritorium Indonesia Timur, Letnan Kolonel A.J. Mokoginta. Selain itu, pasukan Andi Aziz mengeluarkan tuntutan yang berisi hal-hal berikut ini :

  • Negara Indonesia Timur harus tetap berdiri.
  • Menentang masuknya APRIS dan TNI yang didatangkan dari Jawa.
  • Hanya pasukan APRIS dari bekas KNIL yang menjaga keamanan Indonesia Timur.
Untuk menanggulangi pemberontakan Andi Aziz tersebut, pemerintah mengeluarkan ultimatum pada tanggal 8 April 1950. Isi ultimatum tersebut memerintahkan kepada Andi Aziz agar melaporkan diri dan mempertanggungjawabkan perbuatannya ke Jakarta dalam tempo 4 x 24 jam. Andi Aziz juga diperintahkan untuk menarik pasukan, menyerahkan semua senjata, dan membebaskan tawanan.

Setelah batas waktu ultimatum tidak dipenuhi oleh Andi Aziz, pemerintah mengirimkan pasukan ekspedisi di bawah pimpinan Kolonel Alex Kawilarang. Pada tanggal 26 April 1950 seluruh pasukan mendarat di Makasar dan terjadilah pertempuran. Pada tanggal 5 Agustus 1950 tiba-tiba Markas Staf Brigade 10/Garuda Mataram di Makassar dikepung oleh pengikut Andi Aziz, tetapi berhasil dipukul mundur pihak TNI. Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa 5 Agustus 1950.

Setelah terjadi pertempuran selama dua hari, pasukan yang mendukung gerakan Andi Aziz, yaitu KNIL/KL minta berunding. Pada tanggal 8 Agustus 1950 terjadi kesepakatan antara Kolonel Kawilarang (TNI) dan Mayor Jenderal Scheffelaar (KNIL/KL).

Isi kesepakatan yaitu penghentian tembak-menembak, KNIL/KL harus meninggalkan Makassar dan meninggalkan semua senjatanya. Akhirnya Andi Aziz bisa ditangkap dan diadili di Pengadilan Militer Yogyakarta pada tahun 1953 serta dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.

c. Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS)

Pada tanggal 25 April 1950 diproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) di bawah pimpinan Mr. Dr. Cristian Robert Steven Soumokil, seorang mantan jaksa agung dari Negara Indonesia Timur. Soumokil tidak menyetujui terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tidak menyetujui penggabungan daerah-daerah Negara Indonesia Timur ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Soumokil berusaha melepaskan wilayah Maluku Tengah dan NTT dari RIS.

Berita mengenai berdirinya RMS tersebut merupakan ancaman bagi keutuhan negara RIS. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah RIS menempuh beberapa langkah. Sebagai langkah awal, pemerintah RIS menempuh cara damai dengan mengirim Dr. J. Leimena. Misi tersebut ditolak oleh Soumokil, bahkan Soumokil minta bantuan, perhatian, serta pengakuan dari negara lain terutama dari Belanda, Amerika Serikat, dan komisi PBB untuk Indonesia.

Usaha damai yang telah dilakukan oleh pemerintah RIS menemui jalan buntu. Pemerintah RIS memutuskan untuk melaksanakan ekspedisi militer. Ekspedisi militer dipimpin oleh Kolonel Kawilarang sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur.

Pada awal November 1950 kota Ambon dapat dikuasai, tetapi dalam perebutan Benteng Nieuw Victoria, Letnan Kolonel Slamet Riyadi gugur. Pada tanggal 12 Desember 1963, Soumokil baru dapat ditangkap, kemudian dihadapkan pada Mahkamah Militer Luar Biasa di Jakarta dan dijatuhi hukuman mati.

3. Peristiwa Konflik dan Pergolakan yang Berkaitan dengan Sistem Pemerintahan

Berikut beberapa peristiwa yang berkaitan dengan sistem pemerintahan.

a. Pemberontakan PRRI/Permesta

Salah satu kesulitan yang dihadapi pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah adanya pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Pemberontakan tersebut muncul disebabkan oleh beberapa faktor berikut.
a. Pemerintah pusat belum mampu melaksanakan pola otonomi daerah dengan wajar dan benar.
b. Pemerintah pusat mengalami labilitas yang disebabkan oleh beberapa hal berikut ini :
  • Merajalelanya korupsi.
  • Konstituante hasil pemilu tahun 1955 belum berhasil menyelesaikan tugas-tugasnya.
  • Dalam masyarakat timbul pertentangan mengenai konsepsi presiden.
Dengan keadaan tersebut membuat sikap tidak memercayai pemerintah dan di Sumatera Barat muncul pemberontakan. Peristiwa tersebut dimulai pada tahun 1956, KSAD melarang perwira-perwira melakukan kegiatan politik. Adanya larangan tersebut membuat para perwira di Sumatera yang kebanyakan veteran dari bekas Divisi Banteng menyatakan akan melawan Jakarta. Sikap para perwira tersebut mendapat dukungan dari beberapa panglima militer. Ketidakpuasan para perwira tersebut melahirkan dewan-dewan perlawanan sebagai berikut :
  • Dewan Banteng dibentuk tanggal 20 Desember 1956 di Sumatera Barat oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein.
  • Dewan Gajah dibentuk tanggal 22 Desember 1956 di Sumatera Utara oleh Kolonel Maludin Simbolon.
  • Dewan Garuda dibentuk pada pertengahan bulan Januari 1957 oleh Letnan Kolonel Barlian.
  • Dewan Manguni dibentuk pada tanggal 17 Februari 1957 di Manado oleh Mayor Somba.
Pada tanggal 15 Februari 1958 Ahmad Husen memproklamasikan berdirinya PRRI dengan perdana menterinya Mr. Syarifudin Prawiranegara. Dua hari setelah PRRI diproklamasikan, di Sulawesi Utara dan Tengah menyatakan mendukung PRRI. Gerakan tersebut dikenal dengan nama Permesta.

Lima hari sebelum PRRI berdiri, pada tanggal 10 Februari 1958 ketua Dewan Banteng mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah pusat. Ultimatum tersebut berisi agar dalam waktu 5 x 24 jam Kabinet Juanda menyerahkan mandatnya, meminta agar presiden menugaskan Moh. Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk membentuk zaken kabinet, dan meminta presiden supaya kembali pada kedudukannya sebagai presiden konstitusional.

Ultimatum tersebut tidak diindahkan Kabinet Juanda. Tindakan para perwira tersebut membuat KSAD Nasution memecat Letnan Kolonel Ahmad Husein, Kolonel Simbolon, Kolonel Dhlan Djambek, dan Kolonel Sulkifli Lubis.

Untuk menumpas pemberontakan PRRI dilakukan dengan jalan damai, tetapi mengalami kebuntuan. Oleh karena itu, pemerintah terpaksa melakukan operasi militer. Tujuan umum operasi militer adalah menghancurkan kekuatan pemberontakan dan mencegah campur tangan asing. Berikut operasi yagn dilakukan untuk menumpas PRRI :
  • Operasi Tegas dipimpin oleh Letkol Kaharudin Nasution.
  • Operasi 17 Agustus dipimpin Kolonel Ahmad Yani.
  • Operasi Sapta Marga dipimpin oleh Brigjen Jatikusumo.
  • Operasi Sadar dipimpin oleh Letkol Ibnu Surowo.
Seluruh operasi militer di Sumatera tersebut bisa diakhiri setelah Ahmad Husein secara resmi menyerah pada tanggal 29 Mei 1958. Untuk menumpas Permesta dilancarkan sebuah operasi dengan nama Oprasi Merdeka di bawah pimpinan Letnan Kolonel Rukminto Hendraningrat. Operasi terdiri dari beberapa bagian yaitu sebagai berikut ini :
  • Operasi Saptamarga I dipimpin oleh Letnan Kolonel Sumarsono.
  • Operasi Saptamarga II dipimpin Letnan Kolonel Agus prasmanto.
  • Operasi Spatamarga III dipimpin Letnan Kolonel Magenda.
  • Operasi Saptamarga IV dipimpin Letnan Kolonel Rukminto Hendraningrat.
  • Operasi Mena I dipimpin Letnan Kolonel Pieters.
  • Operasi Mena II dipimpin Letnan Kolonel KKO Hunhutz.
Operasi pemberantasan pemberontakan Permesta sangat berat. Hal tersebut karena Permesta memiliki persenjataan yang modern, seperti pesawat pembom B-26 dan pesawat pemburu Mustang. Selain itu, Peermesta juga mendapat bantuan dari pihak asing terbukti dengan tertangkapnya A.L. Pope (warga Amerika Serikat) pada tanggal 18 Mei 1958 setelah pesawatnya ditembak di atas kota Ambon.

b. Persoalan Negara Federal dan BFO 

Setelah kemerdekaan konsep negara federal dan persekutuan negara bagian (BFO/ Bijeenkomst Federal Overleg) mau tidak mau menimbulkan potensi perpecahan dikalangan bangsa Indonesia sendiri. Persaingan yang timbul terutama adalah antara golongan federalis dan golongan unitaris. Golongan federalis ingin bentuk negara federal dipertahankan, sedangkan golongan unitaris ingin Indonesia menjadi negara kesatuan.

Sebagai contoh dalam Konferensi Malino tanggal 24 Juli di Sulawesi Selatan. Pertemuan tersebut untuk membicarakan tatanan federal yang diikuti oleh wakil dari berbagai daerah non-RI, ternyata mendapat reaksi keras dari para politis pro-RI yang ikut serta. Tokoh dari Makassar, Mr. Tadjudin Noor mengkritik hasil konferensi.

Sejak pembentukkannya di Bandung pada bulan Juli 1948, BFO telah tercapai ke dalam dua kubu. Kubu pertama menolak kerja sama dengan Belanda dan lebih memilih RI untuk diajak bekerja sama membentuk Negara Indonesia Serikat. Kubu pertama dipelopori oleh Ide Anak Agung Gede Agung (NIT) serta R.T. Adil Puradiredja dan R.T. Djumhana (Negara Pasundan). Adapun kubu kedua dipimpin oleh Sultan Hamid II (Pontianak) dan dr. T. Mansur (Sumatera Timur). Kubu kedua ingin agar garis kebijakan bekerja sama dengan Belanda tetap dipertahankan BFO.

Pada waktu Belanda melancarkan Agresi Militer II, pertengahan antara dua kubu semakin sengit. Dalam sidang-sidang BFO selanjutnya sering terjadi konfrontasi antara anak Agung dengan Sultan Hamid II. Di kemudian hari, ternyata Sultan Hamid II bekerja sama dengan APRA Westerling mempersiapkan pemberontakan terhadap pemerintah RIS.

Setelah KMB, persaingan antara golongan federalis dan golongan unitaris semakin mengarah pada konflik terbuka di bidang militer. Salah satu ketetapan dalam KMB menyebutkan bahwa ini anggota APRIS diambil dari TNI sedangkan lainnya diambil personel mantan anggota KNIL. TNI sebagai inti APRIS berkeberatan bekerja sama dengan bekas musuhnya, yaitu KNIL.

Begitu juga sebaliknya, anggota KNIL menuntut agar mereka ditetapkan sebagai aparat negara bagian dan mereka menentang masuknya anggota TNI ke negara bagian. Kasus APRA Westerling dan mantan pasukan KNIL Andi Aziz merupakan cermin dari pertengahan tersebut.

Selain pergolakan yang mengarah pada perpecahan, pergolakan bernuansa positif juga terjadi. Hal tersebut terlihat pada waktu negara-negara bagian yang keberadaannya ingin dipertahankan setelah KMB, harus berhadapan dengan tuntutan rakyat yang ingin agar negara-negara bagian bergabung ke Republik Indonesia. 

Baca juga selanjutnya di bawah ini :

Post a Comment for "Perjuangan Indonesia Untuk Menghadapi Disintegrasi Bangsa"