Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Empat Puluh Tahun Perjuangan Menghadapi Disintegrasi Bangsa 1908-1948

Empat Puluh Tahun Perjuangan Menghadapi Disintegrasi Bangsa 1908-1948 - Musuh terbesar bangsa kita bukan yang datang dari luar, tetapi ancaman disintegrasi yang berasal dari dalam sendiri. Tahukah kalian bahwa sesudah 40 tahun lamanya, baru pertama kali peringatan Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, yang diselenggarakan pada tahun 1948. Awalnya, peringatan tersebut merupakan anjuran Bung Karno agar pemerintah menyelenggarakannya secara besar-besaran. Untuk itu, diangkatlah Ki Hajar Dewantara sebagai ketua panitia peringatan.

Mengapa peringatan ini dilakukan ? Ki Hajar Dewantara menjawab hal tersebut, dengan mengatakan :
''Itulah sebenarnya maksud dan tujuan Bung Karno, ketika dia menganjurkan supaya hari 20 Mei tahun 1948 dirayakan secara besar-besaran. Hari itu olehnya dianggap sebagai hari bangunnya rakyat, hari sadarnya serta bangkitnya rasa kebangsaan Indonesia, pada tahun 1908, empat puluh tahun sebelum itu ajakan Bung Karno tadi terbukti sangat ditaati oleh semua golongan rakyat. Mulai golongan-golongan yang berada di luar gerakan politik, sampai dengan partai, mulai yang paling kanan sampai yang paling kiri, ikut serta secara aktif, dan bersama-sama merayakan hari 20 Mei tahun itu sebagai ''Hari Kebangkitan Nasional'', sebagai Hari Kesatuan Rakyat Indonesia''. (C.S.T. Kansil dan Julianto, 1998).

Jadi, makna peringatan Hari Kebangkitan Nasional sebagaimana maksud Bung Karno diatas, adalah untuk memperkuat kesatuan bangsa, khususnya dalam menghadapi Belanda yang hendak menjajah kembali Indonesia. Apalagi di awal tahun itu muncul pula kelompok dengan garis perjuangan ideologi negara Indonesia.

Apalagi pada tahun 1948, Muso baru kembali dari Moskwa dengan menawarkan dokrit ''Jalan Baru'' sebagai strategi perjuangan bangsa yang berbeda dari strategi yang dijalankan pemerintah Soekarno - Hatta. 

Ada tiga gagasan yang dikemukakan Muso :


  • Pertama membentuk Front Nasional untuk menghimpun kekuatan komunis dan nonkomunis dibawah pimpinan PKI.
  • Kedua, mengubah PKI menjadi partai tunggal Marxis-Leninis.
  • Ketiga, menyesuaikan perjuangan PKI dengan garis perjuangan Komunis Internasional (Komintern).
Hal ini membuat hubungan antara PKI dengan kubu nasionalis (PNI dan Masyumi) kian meruncing. Pertikaian ideologi yang tajam tersebut berakhir pada pecahnya pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948.

Sebagai konsekuensi disepakatinya hasil perundingan Renville, sebanyak 35.000 anggota TNI juga dipaksa untuk meninggalkan wilayah yang diklaim Belanda menuju daerah Republik Indonesia yang beribu kota di Yogyakarta. Tiga bulan setelahnya, Belanda melancarkan agresi militer dengan menduduki Ibu Kota Yogyakarta pada 19 Desember 1948.

Presiden dan wakil presiden serta beberapa pejabat tingggi negara ditangkap dan diasingkan ke Bangka. Meski demikian presiden masih sempat memberikan mandat kepada Syafrudin Prawiranegara untuk menjadi ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat.

Bahkan Soekarno juga memerintahkan kepada Soedarsono dan LN. Palar untuk siap mengantisipasi bila suatu ketika terpaksa mendirikan pemerintahan pengasingan di India, meski hal ini akhirnya tidak terjadi. Dengan kondisi kritis seperti itu maka Republik Indonesia dapat digambarkan bagai ''sebutir telur di ujung tanduk''.

Namun demikian Panglima Besar Soedirman sekeluarnya dari Yogyakarta, langsung memimpin pasukannya untuk meneruskan perjuangan melawan Belanda dengan melakukan perang gerilya. Sementara itu Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa meneruskan rencana pertahanan rakyat yang telah disusun oleh Panglima Besar Sudirman, dan dikenal sebagai Perintah Siasat Nomor 1.

Salah satu pokoknya adalah menyusupkan pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal ke garis belakang musuh dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.

Dapat pula dikemukakan peran Sultan Hamengku Buwono IX yang telah memberikan dukungan fasilitas dan finasial untuk keberlangsungan berjalannya pemerintahan republik yang ditinggalkan para pemimpinnya tersebut. Menurut Kahin, dua kekuatan inilah yang menjadi sumber perlawanan terhadap Belanda yang pada akhirnya memaksa Belanda untuk mengakhiri perang menuju Konferensi Meja Bundar (KMB).

Kedua kekuatan yang digerakan oleh unsur sipil dan tentara yang melakukan gerilya menjadi amunisi yang ampuh bagi para diplomat kita yang terus berunding di forum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Dengan strategi perjuangan tersebut di atas dengan mendapat tekanan Internasional dan dari Amerika Serikat sendiri yang mengancam akan menghentikan bantuan Marshall Plan, maka Belanda terpaksa menandatangani perjanjian KMB yang berisi ''penyerahan kedaulatan'' (souvereniteit overdracht).

Situasi dan kondisi perjuangan sebagaimana digambarkan di atas itulah yang menjadi makna nilai persatuan dari peringatan kebangkitan nasional ke-40 di tahun 1948, yang menggerakan perjuangan bangsa Indonesia yang pantang menyerah dan pada akhirnya dapat mengakhiri upaya Belanda untuk kembali menjajah.

Ancaman disintegrasi (perpecahan) bangsa memang bukan persoalan main-main. Tak hanya merupakan masalah di masa lalu. Potensi disintegrasi pada masa kinipun bukan tidak mungkin terjadi. Karena itulah kita harus terus dan selalu memahami betapa berbahayanya proses disintegrasi bangsa apabila terjadi bagi kebangsaan kita. Sejarah Indonesia telah menunjukkan hal tersebut.

Baca juga selanjutnya di bawah ini :

Post a Comment for "Empat Puluh Tahun Perjuangan Menghadapi Disintegrasi Bangsa 1908-1948"